Laman

02 Juni 2014

Menghayati Sikap Seorang Petahana

Seolah tersihir oleh mars pemilihan umum orde baru, seluruh rakyat tampaknya bergembira dipanggil untuk turut serta dalam pemilihan presiden. Jelas ini hak demokrasi di negara yang berideologi pancasila. Tentu saja ini hikmah Indonesia Merdeka. Rakyat pun sadar bahwa ini adalah cara untuk membuat Indonesia lebih baik. Paling tidak ini adalah momen menyalurkan hasrat berpolitik rakyat yang sudah mendarah daging sejak ken arok menancapkan keris ke tubuh Akuwu Tumapel sekaligus menyatukan lingga-yoni dengan Ken Dedes. Mau pilih menjadi Kebo Ijo atau Anusapati atau Toh Jaya, dipersilahkan. Yang sebaiknya dihindari adalah menjadi Mpu Gandring dan Tunggul Ametung.
Saat ini, saking semangatnya semua bentuk media social yang saya ikuti penuh dengan omongan berbau politik. Mailist, facebook, twitter, Group whats App, semuanya yang dibahas hanya Dik Joko dan Mas Bowo. Kita tahu siapa membela siapa atau siapa membenci siapa hanya dari beberapa kata kunci saja. Jika kata kuncinya tegas; anti asing; gagah; panglima; berdaulat, kemungkinan dia memilih Mas Bowo. Kalau kata kuncinya santun; kalem; rendah hati, kemungkinan dia memilih Dik Joko.  Kalau kata kuncinya HAM, 1998, Penculikan, kita tahu siapa yang dibenci. Kalau kata kuncinya tidak konsisten, agen asing, Jakarta, boneka, kita tahu juga siapa yang dibenci.
Soal siapa yang disanjung dan dikagumi, kita bisa menerka siapa pilihannya untuk menjadi presiden mendatang.  Lain lagi soal siapa yang dibenci. Kita tidak bisa menerka siapa yang nantinya dipilih dari hanya melihat sipa yang dibenci. Bisa jadi karena kebencian itu akhirnya justru tidak ada yang dipilih. Bagaimana pun pilihan itu selera dan selera tidak bisa dilogika. Sama dengan tidak logisnya berita yang bernada menjelekkan soal kuda, keris, istri, keturunan pribumi atau bukan, dan lawakan tak lucu soal obituari. Naga-naganya sanjungan belum cukup semarak sehingga cacian, umpatan, dan fitnah perlu dikeluarkan.
Sanjungan boleh jadi tidak ada yang mempermasalahkan. Logikanya, kalau hanya sanjungan tidak akan ada orang yang merasa tersakiti. Menyebut si Budi baik hati tidak akan membuat orang jengkel, kecuali si Badu yang memang punya masalah pribadi dengan si Budi. Kebalikannya cacian, orang yang bahkan tidak punya hubungan pribadi secara langsung pun akan terusik. Menghina bahwa durian montong itu bau  dan tak layak dimakan akan membuat siapa pun yang gemar makan durian akan balas mengatai si penghina sebagai orang bodoh. Sebagai pertahanan, si penghina akan kembali mecaci. Durian tak dimakan, liur tetap menetes, ludah menjadi kering karena banyak terbuang untuk saling caci. Apa untungnya?.Fitnah lebih kacau lagi. Namanya saja fitnah, sumbernya siapa dan untuk siapa juga tidak jelas.  Kalau dibilang bahwa pelempar fitnah soal sesuatu dalah kubu A, bisa jadi itu juga fitnah yang dilemparkan kubu B. yang jelas, fitnah hanya akan menyulut pertikaian, lainnya samar.
Di soasial media, beberapa profil mulai mengeluh teman-temannya saling memusuhi satu sama lain. Politik punya garisnya sendiri. Kebo ijo mati hanya karena dia mengikuti Ken Arok. Tak ada benci di benak Ken Arok, pembunuhan kebo ijo hanya lah kepentingan professional semata. Maka, begitulah hasrat politik. Tidak ada teman abadi, pun musuh abadi. Jadi tenang saja. Suatu saat ketika saling membutuhkan, toh akan kembali rujuk kalau tidak keburu mati dalam dendam. Ken Arok, Kebo Ijo, Anusapati, dan Toh Jaya, walau pun semua mati tetapi semua sempat menikmati garba kekuasaan. Empu Gandring yang merupakan tokoh kunci yang membawa semua gegap gempita perebutan kekuasaan mati tanpa sempat menikmati kekuasaan itu sendiri. Lagipula, bagaimana bisa seorang empu menikmati kekuasaan?. Jelas bukan kodratnya.
Seandainya Tunggul Ametung tahu Empu Gandring akan membuat senjata yang sangat dahsyat, yang harus dilakukan Tunggul Ametung adalah memberi isyarat kepada sang Empu bahwa sebaiknya meteorit yang mengandung radio aktif itu tidak dijadikan keris. Membuat meteorit menjadi keris memang prestasi besar, sama besarnya dengan menemukan serat karbon. Bedanya keris adalah senjata. Senjata harus digunakan sesuai kegunaannya yaitu membunuh lawan. Kalau tidak untuk membunuh ya paling tidak dipamerkan agar lawan menjadi ngeri. Semuanya tentang menjatuhkan lawan. Merajang bawang dengan menggunakan keris, akan sangat disayangkan. Lain lagi dengan serat karbon, kegunaannya lebih banyak. Apa tidak sebaiknya empu gandring melakukan tapa brata guna menemukan serat karbon saja?.
Tunggul Ametung adalah petahana Akuwu Tumapel. Sebagai petahana kodratnya adalah lengser. Sebagai petahana, sebaiknya tahu bahwa lengser paling baik itu adalah lengser tanpa kehilangan. Petahana penguasa Indonesia saat ini sadar betul tentang hal itu. Entah sengaja atau tidak, saya anggap dia memberi isyarat kepada kita apa yang harus dilakukan agar tidak menjadi Empu Gandring. Partai yang membuat dia berkuasa dia arahkan agar tetap netral. Netral di era demokrasi sekarang ini sebetulnya adalah hal yang makruh. Makruh karena menjadi golongan putih yang tidak memilih adalah sangat tidak dianjurkan.  Saat pilihannya adalah memilih Dik Joko atau Mas Bowo, netral artinya tidak memilih alias Golput.
Berdasarkan pengalaman saat pemilu legislatif kemarin, pilihan yang menang adalah pilihan golput. Lebih dari 30% penduduk Indonesia dalah golongan putih. Golongan  yang tidak memilih. Dengan demikian, kalau kita cerna sebetulnya bisa jadi partai Democrat yang dibina dan diketuai oleh petahana penguasa kita menangkap suara terbanyak itu. Golput harus ada yang mewadahi. Biarkan partai-partai lain berkoalisi dan menentukan siapa yang mereka dukung. Partai democrat harus tetap netral sesuai suara terbanyak penduduk Indonesia. Seandainya partai democrat diperkenankan berkoalisi dengan golput, maka dia tidak perlu berkoalisi dengan partai lainnya untuk mencalonkan presiden.  Hanya seandainya.
Kalau saya djadi petahana penguasa, akan saya anjurkan rakyat berhenti saling ejek. Soal kuda dan keris biarlah demikian. Toh patung-patung orang yang berkuda dan berkeris adalah patung-patung orang yang sudah wafat. Menyembah patung adalah perbuatan syirik yang dosanya tidak diampuni oleh Tuhan. Soal keturunan Cina, petahana sudah menghapuskan kata Cina dan menggantinya dengan Tiongkok. Di Indonesia tidak ada lagi Cina, yang ada adalah Tionghoa yang diakui sebagi warga negara Indonesia, dari Tiongkok lah leluhur mereka berasal. Tak ubahnya Habib yang berasal dari Arab dan Indo yang berasal dari Eropa, semuanya warga negara Indonesia. Asalkan bisa membuktikan bahwa dia warga negara Indonesia sejak lahir dan terbukti tidak pernah menjadi warga negara lain, maka boleh menjadi presiden. Biar pun pernah tinggal di yordania atau di solo, sama-sama tidak pengaruh terhadap pencalonannya. Mau naik kuda dengan keris atau naik mobil karoseri anak-anak SMK, sama-sama tidak diatur oleh konstitusi kita. Seandainya Abrahah naik gajah pun, aturan pencalonan presiden kita tak mempersoalkannya. Kenapa tidak dipersoalkan?. Tanyalah kepada para kontestan pemilu.
Soal polemic ibu negara, kalau saya menempatkan diri sebagi petahana penguasa Indonesia sekarang saya akan bilang  begini:
“tidak ada ibu negara atau ada ibu negara yang kalem andap asor, semuanya baik. Saya sudah membuktikan bahwa bila orang yang mendampingi saya kemana-mana saat kunjungan banyak tingkah, hanya menyebabkan foto saya, anak, dan cucu-cucu saya yang tidak berdosa terpampang di instagram. Perlu saudara sekalian ketahui, kecanduan media social seperti instagram tidak bisa dihentikan. Ada beberapa, bahkan sering rakyat saya menyindir keberadaan instagram. Tetapi ini lah alam demokrasi. Saya hanya prihatin dengan keburukan media social. Yang mampu menghentikan kecanduan media social hanyalah menteri kominfo”
Kemudian kalimat tersebut sebagai petahana akan saya sambung.
“saya memilih menyerahkan pilihan kepada rakyat. Bagaimana pun suara seorang rakyat dapat berpengaruh terhadap masa depan bangsa ini. Saya memilih netral, partai saya dalah partai netral. Pak Danhal yang ikut konvensi partai saya, saya persilahkan mendukung Dik Joko, begitu pun simpatisan partai saya yang lain, saya bebabaskan untuk memilih. Dengan netralnya partai saya, maka InsyaAllah tidak ada lagi media pemerintah yang berpihak pada calon tertentu sebagaimana amanat undang-undang”
Sebagai pendiri partai, netral dapat menjadi cara agar dapat berkonsentrasi pada pembersihan nama baik partai. Mencuci bekas makan selama sepuluh tahun membutuhkan waktu bertahun-tahun pula. Sebagai petahana, member contoh dengan membersihkan partai terlebih dahulu adalah tindakan yang sesuai dengan pepatah guru bangsa. Ing ngarso sung tuladha. Mengakomodir suara terbanyak merupakan bagian dari ing madya mangun karsa dan mengikuti kodrat yang diamanatkan undang-undang adalah laku yang bisa dianggap setara dengan tut wuri handayani. Sebagai petahana, sebaiknya tidak ikut larut dalam perebutan kekuasaan sebaliknya memimpin sebagaimana biasanya dan meninggalkan dasar yang baik bagi penerusnya. Menawrakan diri menjadi penegah antara Vietnam dan Tiongkok salah satunya. Menjadi netral dapat lebih focus pada pekerjaan sebagai petahana. Urusan partai dapat dilakukan selama lima tahun mendatang.
Dengan demikian, alasan kenetralan dapat diterima untuk membuat rakyat adem ayem, mencegah pertumpahan darah, menghormati prinsip demokrasi, mengakomodir suara terbanyak, mencegah semua bentuk penyelewengan yang dilakukan partai penguasa, dan membersihkan partai. Sebagai rakyat, kita harus jalan terus dan bersatu. Kita harus berkarya dengan hal yang lebih bermanfaat bukan hanya untuk menjatuhkan lawan dan gaya semata. Hip,hip?huraa!!hip,hip?huraaa!!.
Langkah petahana kita akan dikenang disuatu masa ketika rakyat benar-benar jenuh dengan perebutan kekuasaan. Akan ada stiker bergambar petahana kita dengan tulisan “piye kabare bro?luwih penak netral tho?

Jakarta,1 juni 2014. Sambil lalu mengenang hari lahir Pancasila.

Pendapat pribadi, hanya untuk hobi.

Tidak ada komentar: