Seolah tersihir oleh mars
pemilihan umum orde baru, seluruh rakyat tampaknya bergembira dipanggil untuk
turut serta dalam pemilihan presiden. Jelas ini hak demokrasi di negara yang
berideologi pancasila. Tentu saja ini hikmah Indonesia Merdeka. Rakyat pun sadar
bahwa ini adalah cara untuk membuat Indonesia lebih baik. Paling tidak ini
adalah momen menyalurkan hasrat berpolitik rakyat yang sudah mendarah daging
sejak ken arok menancapkan keris ke tubuh Akuwu Tumapel sekaligus menyatukan
lingga-yoni dengan Ken Dedes. Mau pilih menjadi Kebo Ijo atau Anusapati atau
Toh Jaya, dipersilahkan. Yang sebaiknya dihindari adalah menjadi Mpu Gandring
dan Tunggul Ametung.
Saat ini, saking semangatnya
semua bentuk media social yang saya ikuti penuh dengan omongan berbau politik. Mailist, facebook, twitter, Group whats
App, semuanya yang dibahas hanya Dik Joko dan Mas Bowo. Kita tahu siapa membela
siapa atau siapa membenci siapa hanya dari beberapa kata kunci saja. Jika kata
kuncinya tegas; anti asing; gagah; panglima; berdaulat, kemungkinan dia memilih
Mas Bowo. Kalau kata kuncinya santun; kalem; rendah hati, kemungkinan dia
memilih Dik Joko. Kalau kata kuncinya
HAM, 1998, Penculikan, kita tahu siapa yang dibenci. Kalau kata kuncinya tidak
konsisten, agen asing, Jakarta, boneka, kita tahu juga siapa yang dibenci.
Soal siapa yang disanjung dan
dikagumi, kita bisa menerka siapa pilihannya untuk menjadi presiden mendatang. Lain lagi soal siapa yang dibenci. Kita tidak
bisa menerka siapa yang nantinya dipilih dari hanya melihat sipa yang dibenci.
Bisa jadi karena kebencian itu akhirnya justru tidak ada yang dipilih.
Bagaimana pun pilihan itu selera dan selera tidak bisa dilogika. Sama dengan
tidak logisnya berita yang bernada menjelekkan soal kuda, keris, istri,
keturunan pribumi atau bukan, dan lawakan tak lucu soal obituari. Naga-naganya
sanjungan belum cukup semarak sehingga cacian, umpatan, dan fitnah perlu
dikeluarkan.
Sanjungan boleh jadi tidak ada
yang mempermasalahkan. Logikanya, kalau hanya sanjungan tidak akan ada orang
yang merasa tersakiti. Menyebut si Budi baik hati tidak akan membuat orang
jengkel, kecuali si Badu yang memang punya masalah pribadi dengan si Budi.
Kebalikannya cacian, orang yang bahkan tidak punya hubungan pribadi secara
langsung pun akan terusik. Menghina bahwa durian montong itu bau dan tak layak dimakan akan membuat siapa pun
yang gemar makan durian akan balas mengatai si penghina sebagai orang bodoh.
Sebagai pertahanan, si penghina akan kembali mecaci. Durian tak dimakan, liur
tetap menetes, ludah menjadi kering karena banyak terbuang untuk saling caci.
Apa untungnya?.Fitnah lebih kacau lagi. Namanya saja fitnah, sumbernya siapa
dan untuk siapa juga tidak jelas. Kalau
dibilang bahwa pelempar fitnah soal sesuatu dalah kubu A, bisa jadi itu juga fitnah
yang dilemparkan kubu B. yang jelas, fitnah hanya akan menyulut pertikaian,
lainnya samar.
Di soasial media, beberapa profil
mulai mengeluh teman-temannya saling memusuhi satu sama lain. Politik punya
garisnya sendiri. Kebo ijo mati hanya karena dia mengikuti Ken Arok. Tak ada
benci di benak Ken Arok, pembunuhan kebo ijo hanya lah kepentingan professional
semata. Maka, begitulah hasrat politik. Tidak ada teman abadi, pun musuh abadi.
Jadi tenang saja. Suatu saat ketika saling membutuhkan, toh akan kembali rujuk
kalau tidak keburu mati dalam dendam. Ken Arok, Kebo Ijo, Anusapati, dan Toh
Jaya, walau pun semua mati tetapi semua sempat menikmati garba kekuasaan. Empu
Gandring yang merupakan tokoh kunci yang membawa semua gegap gempita perebutan
kekuasaan mati tanpa sempat menikmati kekuasaan itu sendiri. Lagipula,
bagaimana bisa seorang empu menikmati kekuasaan?. Jelas bukan kodratnya.
Seandainya Tunggul Ametung tahu
Empu Gandring akan membuat senjata yang sangat dahsyat, yang harus dilakukan
Tunggul Ametung adalah memberi isyarat kepada sang Empu bahwa sebaiknya
meteorit yang mengandung radio aktif itu tidak dijadikan keris. Membuat
meteorit menjadi keris memang prestasi besar, sama besarnya dengan menemukan
serat karbon. Bedanya keris adalah senjata. Senjata harus digunakan sesuai
kegunaannya yaitu membunuh lawan. Kalau tidak untuk membunuh ya paling tidak
dipamerkan agar lawan menjadi ngeri. Semuanya tentang menjatuhkan lawan.
Merajang bawang dengan menggunakan keris, akan sangat disayangkan. Lain lagi dengan
serat karbon, kegunaannya lebih banyak. Apa tidak sebaiknya empu gandring
melakukan tapa brata guna menemukan serat karbon saja?.
Tunggul Ametung adalah petahana
Akuwu Tumapel. Sebagai petahana kodratnya adalah lengser. Sebagai petahana,
sebaiknya tahu bahwa lengser paling baik itu adalah lengser tanpa kehilangan.
Petahana penguasa Indonesia saat ini sadar betul tentang hal itu. Entah sengaja
atau tidak, saya anggap dia memberi isyarat kepada kita apa yang harus
dilakukan agar tidak menjadi Empu Gandring. Partai yang membuat dia berkuasa
dia arahkan agar tetap netral. Netral di era demokrasi sekarang ini sebetulnya adalah
hal yang makruh. Makruh karena menjadi golongan putih yang tidak memilih adalah
sangat tidak dianjurkan. Saat pilihannya
adalah memilih Dik Joko atau Mas Bowo, netral artinya tidak memilih alias
Golput.
Berdasarkan pengalaman saat
pemilu legislatif kemarin, pilihan yang menang adalah pilihan golput. Lebih
dari 30% penduduk Indonesia dalah golongan putih. Golongan yang tidak memilih. Dengan demikian, kalau
kita cerna sebetulnya bisa jadi partai Democrat yang dibina dan diketuai oleh
petahana penguasa kita menangkap suara terbanyak itu. Golput harus ada yang
mewadahi. Biarkan partai-partai lain berkoalisi dan menentukan siapa yang mereka
dukung. Partai democrat harus tetap netral sesuai suara terbanyak penduduk
Indonesia. Seandainya partai democrat diperkenankan berkoalisi dengan golput,
maka dia tidak perlu berkoalisi dengan partai lainnya untuk mencalonkan
presiden. Hanya seandainya.
Kalau saya djadi petahana
penguasa, akan saya anjurkan rakyat berhenti saling ejek. Soal kuda dan keris
biarlah demikian. Toh patung-patung orang yang berkuda dan berkeris adalah
patung-patung orang yang sudah wafat. Menyembah patung adalah perbuatan syirik
yang dosanya tidak diampuni oleh Tuhan. Soal keturunan Cina, petahana sudah
menghapuskan kata Cina dan menggantinya dengan Tiongkok. Di Indonesia tidak ada
lagi Cina, yang ada adalah Tionghoa yang diakui sebagi warga negara Indonesia,
dari Tiongkok lah leluhur mereka berasal. Tak ubahnya Habib yang berasal dari Arab
dan Indo yang berasal dari Eropa, semuanya warga negara Indonesia. Asalkan bisa
membuktikan bahwa dia warga negara Indonesia sejak lahir dan terbukti tidak
pernah menjadi warga negara lain, maka boleh menjadi presiden. Biar pun pernah
tinggal di yordania atau di solo, sama-sama tidak pengaruh terhadap
pencalonannya. Mau naik kuda dengan keris atau naik mobil karoseri anak-anak
SMK, sama-sama tidak diatur oleh konstitusi kita. Seandainya Abrahah naik gajah
pun, aturan pencalonan presiden kita tak mempersoalkannya. Kenapa tidak
dipersoalkan?. Tanyalah kepada para kontestan pemilu.
Soal polemic ibu negara, kalau
saya menempatkan diri sebagi petahana penguasa Indonesia sekarang saya akan
bilang begini:
“tidak ada ibu negara atau ada
ibu negara yang kalem andap asor, semuanya baik. Saya sudah membuktikan bahwa bila
orang yang mendampingi saya kemana-mana saat kunjungan banyak tingkah, hanya
menyebabkan foto saya, anak, dan cucu-cucu saya yang tidak berdosa terpampang
di instagram. Perlu saudara sekalian ketahui, kecanduan media social seperti instagram tidak bisa dihentikan. Ada beberapa,
bahkan sering rakyat saya menyindir keberadaan instagram. Tetapi ini lah alam
demokrasi. Saya hanya prihatin dengan keburukan media social. Yang mampu
menghentikan kecanduan media social hanyalah menteri kominfo”
Kemudian kalimat tersebut sebagai
petahana akan saya sambung.
“saya memilih menyerahkan pilihan
kepada rakyat. Bagaimana pun suara seorang rakyat dapat berpengaruh terhadap
masa depan bangsa ini. Saya memilih netral, partai saya dalah partai netral.
Pak Danhal yang ikut konvensi partai saya, saya persilahkan mendukung Dik Joko,
begitu pun simpatisan partai saya yang lain, saya bebabaskan untuk memilih.
Dengan netralnya partai saya, maka InsyaAllah tidak ada lagi media pemerintah
yang berpihak pada calon tertentu sebagaimana amanat undang-undang”
Sebagai pendiri partai, netral
dapat menjadi cara agar dapat berkonsentrasi pada pembersihan nama baik partai.
Mencuci bekas makan selama sepuluh tahun membutuhkan waktu bertahun-tahun pula.
Sebagai petahana, member contoh dengan membersihkan partai terlebih dahulu
adalah tindakan yang sesuai dengan pepatah guru bangsa. Ing ngarso sung tuladha. Mengakomodir suara terbanyak merupakan
bagian dari ing madya mangun karsa
dan mengikuti kodrat yang diamanatkan undang-undang adalah laku yang bisa
dianggap setara dengan tut wuri handayani.
Sebagai petahana, sebaiknya tidak ikut larut dalam perebutan kekuasaan
sebaliknya memimpin sebagaimana biasanya dan meninggalkan dasar yang baik bagi
penerusnya. Menawrakan diri menjadi penegah antara Vietnam dan Tiongkok salah
satunya. Menjadi netral dapat lebih focus pada pekerjaan sebagai petahana.
Urusan partai dapat dilakukan selama lima tahun mendatang.
Dengan demikian, alasan
kenetralan dapat diterima untuk membuat rakyat adem ayem, mencegah pertumpahan
darah, menghormati prinsip demokrasi, mengakomodir suara terbanyak, mencegah
semua bentuk penyelewengan yang dilakukan partai penguasa, dan membersihkan
partai. Sebagai rakyat, kita harus jalan terus dan bersatu. Kita harus berkarya
dengan hal yang lebih bermanfaat bukan hanya untuk menjatuhkan lawan dan gaya
semata. Hip,hip?huraa!!hip,hip?huraaa!!.
Langkah petahana kita akan
dikenang disuatu masa ketika rakyat benar-benar jenuh dengan perebutan
kekuasaan. Akan ada stiker bergambar petahana kita dengan tulisan “piye kabare bro?luwih penak netral tho?”
Jakarta,1 juni 2014. Sambil lalu
mengenang hari lahir Pancasila.
Pendapat pribadi, hanya untuk
hobi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar