Laman

Tampilkan postingan dengan label sok jadi pengamat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sok jadi pengamat. Tampilkan semua postingan

31 Oktober 2011

Piye To?

To, yang saya maksud adalah pelafalan seperti kata “toko”. Orang jogja melafalkan “to” dengan dua cara, keduanya adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama dilafalkan seperti kita melafalkan kata “tokoh”, yang kedua sudah saya sebutkan pelafalannya. Yang menarik, selalu ada penekanan pada huruf “t” dalam pengucapannya. Saat melafalkan huruf “t” orang jogja menaruh ujung lidah bersentuhan dengan bagian dalam gigi seri dengan pipi sedikit digembungkan. Itu teori saya. “To” yang pertama berfungsi seperti kata “kan”, sedangkan yang kedua adalah sapaan seperti kata “dab”.

 Kalau ”dab” bisa diucapkan untuk orang yang baru kenal sekalipun, “to” hanya diucapkan pada orang yang sudah kenal lebih-lebih teman akrab. Karena “to” sekasar dan seakrab kata “cuk” dalam dialek jawa timuran. “To” berasal dari penggalan kata “gento” yang konon katanya bemakna harfiah “anak maling”. Nah kan, ini lebih berbisa daripada pengucapan kata “cuk”. Ini sudah menyangkut nama keluarga. Herannya sudah tahu demikian, saya dengan enaknya memanggil ta-to-ta-to pada karib saya yang satu ini.

Sudah jamak bagi saya untuk memanggil orang-orang tertentu bukan dengan namanya. Bukan untuk olokan, sebaliknya bentuk takzim saya kepada orang tersebut. Sampeyan tentu tidak akan memanggil bapak sampeyan dengan namanya bukan?. Saya melakukannya dengan lebih dramatis. Tidak hanya untuk orang yang memang harus dijunjung martabatnya. Bisa saja saya memanggil seorang karib dengan sapaan : “cong”,”jeh”,”bung”,”boy”,”pek”,”sam”,”lik”,”koh”,dan, ”kang” untuk pria. Masing-masing karib memiliki panggilan tersendiri buat saya. Sedangkan untuk para kaum hawa saya memanggil “neng” dan “non”. Buat kaum hawa yang lebih istimewa dan hanya diucapkan saat satu-satunya yang menemani adalah setan sambil diawasi Tuhan, saya memanggil “cantik”, “imut” dan “sayang” (diucapkan utuh, penuh, dan dari palung hati saya yang paling dalam). Ais, dasar saya  tak kenal malu. Sudahlah, mari kita kembali kepada karib saya yang saya panggil “to”.

Dia karib saya, seatap selama kurang lebih 5 tahun.

20 Agustus 2010

KIMOCHI (telaah di balik Japan AV)

Bagi saya dan generasi angkatan saya menonton Film Biru atau yang lebih dikenal dengan bokep bukanlah hal yang tabu. Setidaknya seperti itulah yang saya rasakan. Sedemikian tidak tabunya hingga dengan mudah generasi saya mendapatkannya. Jenisnya pun beragam dari produksi Amerika,Perancis , Jepang sampai film indie buatan lokal selokal-lokalnya. Masing-masing asal produksi juga menjadi genre tersendiri.
Kalau berbicara soal genre, saya lebih suka bokep Jepang atau dikenal dengan JAV (Japan Adult Video). Karena namanya video maka sulit juga disebut sebagai film. Bagaimana bisa disebut film jika alur ceritanya kurang jelas. Tidak mungkin disebut film pendek karena durasinya bisa mencapai 2 jam, disebut film normal juga tidak bisa karena hanya sedikit adegannya. Alasan saya suka JAV mirip dengan variabel penilaian Ayu Utami dalam essainya di Parasit Lajang. Namun hal yang saya sukai berkebalikan dengan Ayu Utami, dia suka film buatan barat yang penuh dengan ras kaukasian,saya suka JAV yang penuh ras mongoloid.
Bokep barat disukai Ayu Utami karena dianggap lebih adil karena juga mempertontonkan pria-pria macho dalam porsi waktu yang seimbang. Saya maklum sebab Ayu Utami wanita. Saya suka JAV karena lebih banyak mengumbar pemeran wanitanya, jelas saja karena saya kurang suka menonton apa yang sudah melekat di badan saya. Selain itu saya lebih suka gadis oriental daripada model noni-noni. Saya tekankan gadis, bukan yang lain.
Seperti menonton film yang lainnya, saya sering menelaah fenomena yang ada di balik JAV. Telaah ini membuat saya sedikit merasa tidak berdosa karena saya menonton tidak hanya menuruti nafsu bejat saya saja. Telaah ini juga membuat saya punya dalih untuk menonton JAV(sepertinya). berikut hasil telaah saya atas JAV.

31 Januari 2010

Real dan Menjadi figur televisi di Indonesia

Saya sering menonton televisi, dan saya tidak alergi menonton apa pun kecuali saat menonton tayangan lain ketika saya sedang ingin menonton tayangan lain pula. pernah ada kejadian di mana saya berseteru dengan bapak-ibu saya, pernah pula saat kejadian di mana saya berseteru dengan teman saya satu atap. semua soal tayangan. dan khusus untuk yang terakhir saya berseteru soal tayangan sepak bola yang sedang (saat itu) sangat tidak saya sukai.
soal menonton televisi, pernah adik angkatan saya menyapa saya lewat obrolan di fesbuk isinya seperti ini:
  • Fulan : nangdi saiki sam? (where r u bro?)
  • Saya : kantor. (office)
  • Fulan : saiki sampeyan kerjo tha? (u get a job now, yeah?) pantes, ga tau ketok nang ngarep TV (that's why i've never seen u infront of TV for couple days)
  • Saya : he...
dari obrolan di atas saya berpikir "sepertinya sudah tabiat saya berjaga di depan televisi asrama" (oh ya, saya tinggal di asrama). di lain pihak saya punya apologi tersendiri soal menonton TV asrama alih-alih beralasan tidak punya TV karena kere, saya beralasan itu semua demi kebersamaan yang sangat saya agungkan. (sedikit muna mungkin, bagi sebagian orang dan sebagian diri saya).
Jujur saya suka menonton TV terutama saat tengah malam. karena saat tengah malam stasiun TV sering menampilkan film dan serial yang bagus secara kualitas. bahkan stasiun TV yang pada "waktu utama" menampilkan dunia mitologi yang katanya kampungan tapi sebetulnya mempunyai peringkat penonton tinggi juga menampilkan film dan serial bagus diatas jam 12 malam. saya juga sering menonton opera sabun dan berita hiburan yang banyak menebar kabar burung. dari opera sabun saya sering melihat pemeran-pemerannya yang cantik-cantik dan sedap dipandang mata. paling tidak dapat membuat saya berkomentar "Bugh,....cek ayune sih (WOW, so Pretty)" atau "Bugh...Cek Gedine (Wow, That's so huge.)" soal yang terakhir biasanya saya lontarkan saat menonton film misteri atau acara masak-memasak.
Kembali ke opera sabun dan berita hiburan. saya melihat banyaknya anak muda yang berpenampilan menarik dan tidak berhidung pesek seperti saya. anak muda-anak muda tersebut berkulit "pisang mas" tidak seperti saya yang berkulit "salak". mereka berhidung "burung betet" tak seperti saya yang berhidung "pelepah kelapa terbalik". soal mata ada beberapa yang "bermata gajah" seperti saya. yang jelas sepertinya mereka kebanyakan "hasil dari persilangan". ada sebuah hipotesa soal "hasil dari persilangan" yang menjadi mitos yaitu bahwa "hasil dari persilangan" hasilnya pasti bagus (baca=cantik/tampan).
di opera sabun mereka berbicara dengan logat sesuai karakter yang mereka perankan. ini bisa saya terima. saat menjadi pembawa acara atau berbicara di berita hiburan soal dirinya (dan orang lain), mereka berbicara seperti "meneer van der chapelen" atau berbicara seperti "Loe-GUWEH". otak lugu (kalo ga ingin dibilang bego) saya langsung berpikir begini " jadi kalo pingin masuk TV harus Blasteran dan ga lancar berbahasa Indonesia". saya juga berpikir seperti ini "saya kan juga blasteran, dan saya sulit berbahasa Indonesia dengan lancar". lalu saya bilang ke teman-teman saya "sepertinya saya bisa masuk TV?". teman-teman saya langsung jawab seperti ini "kamu itu bukan Blasteran Indonesia-Eropa, kamu cuma Blasteran jawa-madura. dan Hipotesa kamu soal blasteran itu salah, karena kamu biar blasteran tetep aja mukamu jelek" (oh God, saya bersyukur dengan segala pemberianmu, tak ingin merubahnya; gumam otak waras saya) kemudian. teman saya menambahkan " kamu ga lancar bahasa Indonesia bukan karena pinter ngomong Enggrees. tapi karena kebanyakan ngomong pake logat jember yang ga pernah ilang" " kalo ngomong ala jakarte pun kamu mesti bilang guwe-nya pake "GH" jadi "GHUWWE"...."lalu saya dan teman-teman semua tertawa hahahahha....

NB:
  • anak muda, bukan salah kalian menjadi Blasteran, kalian ga milih dari rahim siapa kalian lahir dan dan dari air mani siapa kalian dibuat. oke?
  • soal ga bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, juga bukan salah kalian karena lingkungan kita menentukan seperti apa kita berbicara (kecuali .."You tuh ye...Kalo ngomong artificial banget, c'mon guy...u were born in Indonesia. poor you")....."udhah UjHyaan, BecHyeeq, ga ad ojheq,...."
  • saya serius soal anggapan "Blasteran dan ga lancar bahasa Indonesia, pasti masuk TV",

11 April 2009

demokrasiiiiiiii

semua sistem didunia ini berakar dari hukum rimba dan takkan bisa berpaling dari itu, pun demokrasi
semua sistem membuat yang kuat selalu menang apapun bentuk kekuatannya, pun demikian demokrasi
keunggulan demokrasi hanyalah karena dia memberikan kesempatan yang lebih pada semua orang untuk ikut di dalamnya

12 Maret 2009

alat musik dan wanita yang memainkannya

suatu saat Real berkata " aku punya kesan tersendiri terhadap pemain musik dan jenis kelaminnya,
yang pertama adalah bila wanita memainkan Cello atau Kontra bas maka kesannya Anggun dan elegan, karena mereka memainkkannya dengan duduk dan memeluknya.

yang kedua bila wanita memainkan biola dengan berdiri, kesannya seksi. bila wanita memainkannya dengan duduk maka kesannya sebagi wanita penurut.

yang ketiga bila wanita memainkan gitar entah dengan duduk atau dengan berdiri, kesannya 'gimana gitu?' sedikit aneh. apalagi memainkan bas gitar, tambah aneh.

yang ke empat bila wanita memainkan bas gembung, kesannya anggun. karena melakukan dengan berdiri dan memeluknya.

yang kelima, bila wanita memainkan piano kesannya elegan.

yang ke enam, bila wanita memainkan drum, kesannya perkasa.

yang ke tujuh,
bila wanita menjadi DJ kesannya Bitchy.. dalam arti positif"

01 Desember 2008

JANGAN SENTIL KAMI DENGAN NASIONALISME

apakah anda berniat mati terseret dan pantat anda tergantung di tiang bendera?
COBA SENTIL KAMI ORANG INDONESIA Dengan MERENDAHKAN MARTABAT KAMI
percayalah anda akan mati tanpa nisan

26 November 2008

REAL DAN AGAMA


Real dan agama
5 januari 2008

Aku mempunyai banyak pemikiran yang intinya adalah hanya pemikiranku. Aku sering bepikir, merenung, melamun, menalar, melogika, segala sesuatu. Aku biasanya berpikir atau melakukan kegiatan sejenis bila aku tak mempunyai kegiatan yang dilakukan oleh organ-organ mekanis. Seringnya orang menyebutnya melamun. Sebab bila melakukan kegiatan mekanis yang membutuhkan sebagian besar pusat sarafku untuk mengendalikannya aku tak akan sempat berpikir yang murni berpikir. Bahkan dengan berbicara dengan teman-berdiskusi aku tak bisa berpikir murni.
Pemikiranku boleh dibilang sangat subjektif karena aku sama sekali tak membutuhkan objek kecuali tema yang aku pikirkan. Pemikiranku memang hanya mengandalkan kerja otakku, sebagian-istilah orang-orang-bisa disebut wangsit tapi bukan wangsit seperti arti bahwa wangsit itu sesuatu yang turun dari langit. Namun aku tak sekedar melantur atau tiba-tiba mendapatkannya. Aku melihat, meraba, atau apa pun sebelum kemudian memikirkannya. Aku miskin akan pengetahuan dari buku. Ini adalah apologi permulaanku. Apa yang aku tulis di bawah adalah pendapat yang sungguh amat sangat bisa dibantah bahkan oleh seorang yang tak “berpendidikan”. Ini pandangan subjektif. Hasil pemikiran minim objek dan bukti yang “bisa dibenarkan”. Berikut apa yang kupikirkan menyangkut agama dan religi/kepercayaan. Dari pada hanya dipikirkan dan tak ada orang yang tahu aku ada di bumi. (pemikiran yang sangat picik)
Jangan memandang tulisan ini dari sudut pandang agama itu sendiri, aku tak yakin bisa dibenarkan dari sudut pandang agama tertentu. Jangan melihat tulisan ini dari sudut pandang Ilmiah (ke-ilmu pengetahuan modern-an), aku tak bisa menunjukkan sumber terpercaya atau bukti yang “bisa dibenarkan”. Tulisan ini bukan fiksi sekelas novel cerpen atau apa pun dari dunia kesusastraan. Pembaca boleh mencibir, menghakimi, mencampakkan atau apa saja. Sekali lagi ini tulisan tentang pemikiranku.
Aku percaya sekali dengan adanya Tuhan. Percaya atau tidak, seorang yang mengaku tak percaya akan Tuhan pun sesungguhnya percaya dengan keberadaan Tuhan. Mereka percaya dengan adanya invisible hand atau kekuatan tak terlihat yang mengatur segala sesuatu. Aku berpendapat semua orang percaya bahwa mereka membutuhkan kepercayaan terhadap sesuatu. Orang-orang yang sangat berpikir logis dan bergelut dalam dunia yang penuh logika dengan mengutamakan pembuktian seperti seperti ilmu pengetahuan saat ini membutuhkan religi. Sebagian manusia percaya pada kata kebetulan lalu apa yang menyebabkan “kebetulan”?. Yang tidak percaya pada konsep kebetulan percaya pada tanda-tanda sebelum terjadinya sesuatu, lalu apa yang mengirim tanda itu?. Konsep tentang sense of greater being sudah lama dikenal oleh manusia. Setiap orang di dunia mengagumi, menakuti, mempercayai sesuatu yang menurut mereka lebih hebat dari dirinya. Menurutku itulah konsep awal tentang kepercayaan akan Tuhan.
Aku percaya bahwa Tuhan itu Esa. Kalau Tuhan itu banyak maka akan terjadi banyak perbedaan di antara Mereka. Aku juga percaya bahwa setiap kebudayan meyakini keesaan Tuhan. Paling tidak bila mereka percaya bahwa “Tuhan” itu banyak maka akan ada sesuatu yang mengatur mereka. Tuhan yang disembah setiap manusia menurutku adalah sesuatu (aku tak tahu harus menyebut “se-“ apa?) Yang sangat agung dalam bahasa Indonesia (yang merupakan bahasa dari banyak serapan) di sebut Maha. Karena Tuhan itu Maha segala-galanya maka Tuhan itu mempunyai sifat-sifat yang sangat banyak. Dalam agama Hindu (aku hanya tahu bagian paling luar dari sudut pandang orang paling jauh) Tuhan digambarkan dalam banyak bentuk dengan banyaknya symbol yang menunjukkan kekuatan-Nya. Menurutku gambaran itu merupakan gambaran sifat-sifat Tuhan. Mereka percaya pada sesuatu yang lebih dari pada Dewa-Dewi. Kita percaya pada sifata-sifat tuhan yang Maha segalanya. Setidaknya-aku meyakini-Tuhan membuat kita mudah mengerti atau menyimbolkan sifat-sifatnya setahu kita.
Bila kita berbicara tentang pemujaan terhadap Tuhan kita berbicara pada simbolisme. Bagaimana kita memuja Tuhan bila kita tidak menyimbolkannya?. Symbol symbol pemujaan, simbol-simbol sosok Tuhan, symbol-simbol sifat-sifatnya. Dan lain sebagainya. Aku mengaitkannya dengan kuliah dosen Sosiologi-ku tentang bentuk dari teori Interaksionisme simbolis. Agama aku memandangnya disini sebagai sesuatu pemujaan terhadap Tuhan. Aku percaya bahwa Tuhan semua orang itu ya itu-itu saja. Sebab bila kita percaya bahwa tak ada Tuhan lain selain Tuhan yang kita sembah maka aku tak ‘kan bilang Tuhanku yang paling benar dan Tuhanmu itu salah atau fiktif. Kalau Tuhan itu satu maka tak akan ada Tuhan yang lain, bahkan dari agama yang berbeda. Bagaimana kita bisa menyatakan itu (“Tuhan” yang isembah oleh agama lain) salah atau fiktif sedangkan kita percaya bahwa memang Tuhan itu satu?. Menurutku itu pengingkaran.
Aku tak bisa menyatakan agama mana yang paling benar. Aku akan selalu bilang agamaku yang paling benar karena ini-itu. Dan aku sangat mempercayainya. Aku tak bisa bilang bahwa agama apa pun itu sama saja. Analogiku adalah kita memakan sesuatu dengan cara yang berbeda-beda. Kita mempelajari agama dari hasil kebudayaan. Kita bisa beragama karena orang lain. Begitu pula aku. Aku tak bisa serta merta menciptakan Tuhanku sendiri berikut pemujaannya. Salah satu kelemahan manusiawi adalah tak bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda atau pun amat sangat sama dengan menjiplaknya atau tanpa menjiplaknya.
Agama bisa dikatakan sebagai hasil budaya. Aku condong mempercayai-karena aku yang percaya Tuhan dan beragama sejak lahir-bahwa agama diturunkan oleh Tuhan sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Secara nalar aku berpendapat, agama dan symbol-simbol keTuhanan selalu disesuaikan dengan kebudayaan kaum, karena agama lahir dari budaya. Kaum yang suka berperang menyembah dewa perang atau menganggap Tuhan sebagi sosok yang selalu melindungi mereka, kuat dan selalu memberikan kemenangan. Bangsa gurun menganggap surga sebagai daerah yang tanahnya ditumbuhi banyak tumbuhan dan selalu dialiri air. Sebagian orang menolak agama yang ada di komunitasnya. Lalu, membuat agama baru atau mempelajari agama lain yang sudah ada.
Aku sangat menghargai seorang mualaf (orang yang baru memeluk agama tertentu saat mereka dewasa) karena dia mendapatkan agama yang bukan warisannya kecuali apa yang dia pelajari dan cari kebenarannya. Tapi bukan berarti aku menyarankan untuk pindah agama. Kita yang mendapatkan agama warisan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mempelajari agama kita sendiri. Inti dari agama kita. Segala hal yang mendetail dari agama kita.
Selain sebagai bentuk pemujaan melalui ibadah-ibadahnya, Agama bisa diartikan sebagai aturan hidup. Agama berisi ajaran-ajaran yang menyarankan agar selalu berbuat baik. Untuk mempermudah ajarannya, agama membuat reward and punishment. Konsep yang dianut oleh banyak system.
Agama adalah hasil pemikiran. Agama dapat berkembang karena pemikiran-pemikiran yang dilakukan oleh penganutnya. Peletak dasar agama hanya memberikan tuntunan-tuntunan dasar yang menjadi teladan yang lalu ditelaah oleh para penerusnya.
Bagiku kerukunan antar umat beragama sangat penting. Memang banyak peradaban yang berperang karena membela agama mereka. Sama seperti 2 orang di perguruan/sekolah yang saling mempertahankan pendapat dan idealisme mereka. Tapi menurutku perang apa pun sebabnya lebih-lebih perang karena agama tak murni disebabkan oleh satu factor pemicu/dalih itu sendiri.
Sekali lagi ini adalah hasil pemikiran. Aku tak menyebarkan agama baru. Aku tak memberikan tuntunan atau ceramah. Aku tak bisa bilang tulisanku ini benar. Semua reaksi dihormati. Sebetulnya saat aku setengah mengerjakan tulisan ini, ada yang mengkritik dengan menanyakan konsep Tuhan. Aku sudah terlebih dahulu membuat apologi sebagai pengantar. Semoga Tuhan yang disembah oleh semua mahluk-tiada Tuhan selain Dia- Yang Maha Adil mengampuniku.