Real dan agama
5 januari 2008
5 januari 2008
Aku mempunyai banyak pemikiran yang intinya adalah hanya pemikiranku. Aku sering bepikir, merenung, melamun, menalar, melogika, segala sesuatu. Aku biasanya berpikir atau melakukan kegiatan sejenis bila aku tak mempunyai kegiatan yang dilakukan oleh organ-organ mekanis. Seringnya orang menyebutnya melamun. Sebab bila melakukan kegiatan mekanis yang membutuhkan sebagian besar pusat sarafku untuk mengendalikannya aku tak akan sempat berpikir yang murni berpikir. Bahkan dengan berbicara dengan teman-berdiskusi aku tak bisa berpikir murni.
Pemikiranku boleh dibilang sangat subjektif karena aku sama sekali tak membutuhkan objek kecuali tema yang aku pikirkan. Pemikiranku memang hanya mengandalkan kerja otakku, sebagian-istilah orang-orang-bisa disebut wangsit tapi bukan wangsit seperti arti bahwa wangsit itu sesuatu yang turun dari langit. Namun aku tak sekedar melantur atau tiba-tiba mendapatkannya. Aku melihat, meraba, atau apa pun sebelum kemudian memikirkannya. Aku miskin akan pengetahuan dari buku. Ini adalah apologi permulaanku. Apa yang aku tulis di bawah adalah pendapat yang sungguh amat sangat bisa dibantah bahkan oleh seorang yang tak “berpendidikan”. Ini pandangan subjektif. Hasil pemikiran minim objek dan bukti yang “bisa dibenarkan”. Berikut apa yang kupikirkan menyangkut agama dan religi/kepercayaan. Dari pada hanya dipikirkan dan tak ada orang yang tahu aku ada di bumi. (pemikiran yang sangat picik)
Jangan memandang tulisan ini dari sudut pandang agama itu sendiri, aku tak yakin bisa dibenarkan dari sudut pandang agama tertentu. Jangan melihat tulisan ini dari sudut pandang Ilmiah (ke-ilmu pengetahuan modern-an), aku tak bisa menunjukkan sumber terpercaya atau bukti yang “bisa dibenarkan”. Tulisan ini bukan fiksi sekelas novel cerpen atau apa pun dari dunia kesusastraan. Pembaca boleh mencibir, menghakimi, mencampakkan atau apa saja. Sekali lagi ini tulisan tentang pemikiranku.
Aku percaya sekali dengan adanya Tuhan. Percaya atau tidak, seorang yang mengaku tak percaya akan Tuhan pun sesungguhnya percaya dengan keberadaan Tuhan. Mereka percaya dengan adanya invisible hand atau kekuatan tak terlihat yang mengatur segala sesuatu. Aku berpendapat semua orang percaya bahwa mereka membutuhkan kepercayaan terhadap sesuatu. Orang-orang yang sangat berpikir logis dan bergelut dalam dunia yang penuh logika dengan mengutamakan pembuktian seperti seperti ilmu pengetahuan saat ini membutuhkan religi. Sebagian manusia percaya pada kata kebetulan lalu apa yang menyebabkan “kebetulan”?. Yang tidak percaya pada konsep kebetulan percaya pada tanda-tanda sebelum terjadinya sesuatu, lalu apa yang mengirim tanda itu?. Konsep tentang sense of greater being sudah lama dikenal oleh manusia. Setiap orang di dunia mengagumi, menakuti, mempercayai sesuatu yang menurut mereka lebih hebat dari dirinya. Menurutku itulah konsep awal tentang kepercayaan akan Tuhan.
Aku percaya bahwa Tuhan itu Esa. Kalau Tuhan itu banyak maka akan terjadi banyak perbedaan di antara Mereka. Aku juga percaya bahwa setiap kebudayan meyakini keesaan Tuhan. Paling tidak bila mereka percaya bahwa “Tuhan” itu banyak maka akan ada sesuatu yang mengatur mereka. Tuhan yang disembah setiap manusia menurutku adalah sesuatu (aku tak tahu harus menyebut “se-“ apa?) Yang sangat agung dalam bahasa Indonesia (yang merupakan bahasa dari banyak serapan) di sebut Maha. Karena Tuhan itu Maha segala-galanya maka Tuhan itu mempunyai sifat-sifat yang sangat banyak. Dalam agama Hindu (aku hanya tahu bagian paling luar dari sudut pandang orang paling jauh) Tuhan digambarkan dalam banyak bentuk dengan banyaknya symbol yang menunjukkan kekuatan-Nya. Menurutku gambaran itu merupakan gambaran sifat-sifat Tuhan. Mereka percaya pada sesuatu yang lebih dari pada Dewa-Dewi. Kita percaya pada sifata-sifat tuhan yang Maha segalanya. Setidaknya-aku meyakini-Tuhan membuat kita mudah mengerti atau menyimbolkan sifat-sifatnya setahu kita.
Bila kita berbicara tentang pemujaan terhadap Tuhan kita berbicara pada simbolisme. Bagaimana kita memuja Tuhan bila kita tidak menyimbolkannya?. Symbol symbol pemujaan, simbol-simbol sosok Tuhan, symbol-simbol sifat-sifatnya. Dan lain sebagainya. Aku mengaitkannya dengan kuliah dosen Sosiologi-ku tentang bentuk dari teori Interaksionisme simbolis. Agama aku memandangnya disini sebagai sesuatu pemujaan terhadap Tuhan. Aku percaya bahwa Tuhan semua orang itu ya itu-itu saja. Sebab bila kita percaya bahwa tak ada Tuhan lain selain Tuhan yang kita sembah maka aku tak ‘kan bilang Tuhanku yang paling benar dan Tuhanmu itu salah atau fiktif. Kalau Tuhan itu satu maka tak akan ada Tuhan yang lain, bahkan dari agama yang berbeda. Bagaimana kita bisa menyatakan itu (“Tuhan” yang isembah oleh agama lain) salah atau fiktif sedangkan kita percaya bahwa memang Tuhan itu satu?. Menurutku itu pengingkaran.
Aku tak bisa menyatakan agama mana yang paling benar. Aku akan selalu bilang agamaku yang paling benar karena ini-itu. Dan aku sangat mempercayainya. Aku tak bisa bilang bahwa agama apa pun itu sama saja. Analogiku adalah kita memakan sesuatu dengan cara yang berbeda-beda. Kita mempelajari agama dari hasil kebudayaan. Kita bisa beragama karena orang lain. Begitu pula aku. Aku tak bisa serta merta menciptakan Tuhanku sendiri berikut pemujaannya. Salah satu kelemahan manusiawi adalah tak bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda atau pun amat sangat sama dengan menjiplaknya atau tanpa menjiplaknya.
Agama bisa dikatakan sebagai hasil budaya. Aku condong mempercayai-karena aku yang percaya Tuhan dan beragama sejak lahir-bahwa agama diturunkan oleh Tuhan sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Secara nalar aku berpendapat, agama dan symbol-simbol keTuhanan selalu disesuaikan dengan kebudayaan kaum, karena agama lahir dari budaya. Kaum yang suka berperang menyembah dewa perang atau menganggap Tuhan sebagi sosok yang selalu melindungi mereka, kuat dan selalu memberikan kemenangan. Bangsa gurun menganggap surga sebagai daerah yang tanahnya ditumbuhi banyak tumbuhan dan selalu dialiri air. Sebagian orang menolak agama yang ada di komunitasnya. Lalu, membuat agama baru atau mempelajari agama lain yang sudah ada.
Aku sangat menghargai seorang mualaf (orang yang baru memeluk agama tertentu saat mereka dewasa) karena dia mendapatkan agama yang bukan warisannya kecuali apa yang dia pelajari dan cari kebenarannya. Tapi bukan berarti aku menyarankan untuk pindah agama. Kita yang mendapatkan agama warisan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mempelajari agama kita sendiri. Inti dari agama kita. Segala hal yang mendetail dari agama kita.
Selain sebagai bentuk pemujaan melalui ibadah-ibadahnya, Agama bisa diartikan sebagai aturan hidup. Agama berisi ajaran-ajaran yang menyarankan agar selalu berbuat baik. Untuk mempermudah ajarannya, agama membuat reward and punishment. Konsep yang dianut oleh banyak system.
Agama adalah hasil pemikiran. Agama dapat berkembang karena pemikiran-pemikiran yang dilakukan oleh penganutnya. Peletak dasar agama hanya memberikan tuntunan-tuntunan dasar yang menjadi teladan yang lalu ditelaah oleh para penerusnya.
Bagiku kerukunan antar umat beragama sangat penting. Memang banyak peradaban yang berperang karena membela agama mereka. Sama seperti 2 orang di perguruan/sekolah yang saling mempertahankan pendapat dan idealisme mereka. Tapi menurutku perang apa pun sebabnya lebih-lebih perang karena agama tak murni disebabkan oleh satu factor pemicu/dalih itu sendiri.
Sekali lagi ini adalah hasil pemikiran. Aku tak menyebarkan agama baru. Aku tak memberikan tuntunan atau ceramah. Aku tak bisa bilang tulisanku ini benar. Semua reaksi dihormati. Sebetulnya saat aku setengah mengerjakan tulisan ini, ada yang mengkritik dengan menanyakan konsep Tuhan. Aku sudah terlebih dahulu membuat apologi sebagai pengantar. Semoga Tuhan yang disembah oleh semua mahluk-tiada Tuhan selain Dia- Yang Maha Adil mengampuniku.
Pemikiranku boleh dibilang sangat subjektif karena aku sama sekali tak membutuhkan objek kecuali tema yang aku pikirkan. Pemikiranku memang hanya mengandalkan kerja otakku, sebagian-istilah orang-orang-bisa disebut wangsit tapi bukan wangsit seperti arti bahwa wangsit itu sesuatu yang turun dari langit. Namun aku tak sekedar melantur atau tiba-tiba mendapatkannya. Aku melihat, meraba, atau apa pun sebelum kemudian memikirkannya. Aku miskin akan pengetahuan dari buku. Ini adalah apologi permulaanku. Apa yang aku tulis di bawah adalah pendapat yang sungguh amat sangat bisa dibantah bahkan oleh seorang yang tak “berpendidikan”. Ini pandangan subjektif. Hasil pemikiran minim objek dan bukti yang “bisa dibenarkan”. Berikut apa yang kupikirkan menyangkut agama dan religi/kepercayaan. Dari pada hanya dipikirkan dan tak ada orang yang tahu aku ada di bumi. (pemikiran yang sangat picik)
Jangan memandang tulisan ini dari sudut pandang agama itu sendiri, aku tak yakin bisa dibenarkan dari sudut pandang agama tertentu. Jangan melihat tulisan ini dari sudut pandang Ilmiah (ke-ilmu pengetahuan modern-an), aku tak bisa menunjukkan sumber terpercaya atau bukti yang “bisa dibenarkan”. Tulisan ini bukan fiksi sekelas novel cerpen atau apa pun dari dunia kesusastraan. Pembaca boleh mencibir, menghakimi, mencampakkan atau apa saja. Sekali lagi ini tulisan tentang pemikiranku.
Aku percaya sekali dengan adanya Tuhan. Percaya atau tidak, seorang yang mengaku tak percaya akan Tuhan pun sesungguhnya percaya dengan keberadaan Tuhan. Mereka percaya dengan adanya invisible hand atau kekuatan tak terlihat yang mengatur segala sesuatu. Aku berpendapat semua orang percaya bahwa mereka membutuhkan kepercayaan terhadap sesuatu. Orang-orang yang sangat berpikir logis dan bergelut dalam dunia yang penuh logika dengan mengutamakan pembuktian seperti seperti ilmu pengetahuan saat ini membutuhkan religi. Sebagian manusia percaya pada kata kebetulan lalu apa yang menyebabkan “kebetulan”?. Yang tidak percaya pada konsep kebetulan percaya pada tanda-tanda sebelum terjadinya sesuatu, lalu apa yang mengirim tanda itu?. Konsep tentang sense of greater being sudah lama dikenal oleh manusia. Setiap orang di dunia mengagumi, menakuti, mempercayai sesuatu yang menurut mereka lebih hebat dari dirinya. Menurutku itulah konsep awal tentang kepercayaan akan Tuhan.
Aku percaya bahwa Tuhan itu Esa. Kalau Tuhan itu banyak maka akan terjadi banyak perbedaan di antara Mereka. Aku juga percaya bahwa setiap kebudayan meyakini keesaan Tuhan. Paling tidak bila mereka percaya bahwa “Tuhan” itu banyak maka akan ada sesuatu yang mengatur mereka. Tuhan yang disembah setiap manusia menurutku adalah sesuatu (aku tak tahu harus menyebut “se-“ apa?) Yang sangat agung dalam bahasa Indonesia (yang merupakan bahasa dari banyak serapan) di sebut Maha. Karena Tuhan itu Maha segala-galanya maka Tuhan itu mempunyai sifat-sifat yang sangat banyak. Dalam agama Hindu (aku hanya tahu bagian paling luar dari sudut pandang orang paling jauh) Tuhan digambarkan dalam banyak bentuk dengan banyaknya symbol yang menunjukkan kekuatan-Nya. Menurutku gambaran itu merupakan gambaran sifat-sifat Tuhan. Mereka percaya pada sesuatu yang lebih dari pada Dewa-Dewi. Kita percaya pada sifata-sifat tuhan yang Maha segalanya. Setidaknya-aku meyakini-Tuhan membuat kita mudah mengerti atau menyimbolkan sifat-sifatnya setahu kita.
Bila kita berbicara tentang pemujaan terhadap Tuhan kita berbicara pada simbolisme. Bagaimana kita memuja Tuhan bila kita tidak menyimbolkannya?. Symbol symbol pemujaan, simbol-simbol sosok Tuhan, symbol-simbol sifat-sifatnya. Dan lain sebagainya. Aku mengaitkannya dengan kuliah dosen Sosiologi-ku tentang bentuk dari teori Interaksionisme simbolis. Agama aku memandangnya disini sebagai sesuatu pemujaan terhadap Tuhan. Aku percaya bahwa Tuhan semua orang itu ya itu-itu saja. Sebab bila kita percaya bahwa tak ada Tuhan lain selain Tuhan yang kita sembah maka aku tak ‘kan bilang Tuhanku yang paling benar dan Tuhanmu itu salah atau fiktif. Kalau Tuhan itu satu maka tak akan ada Tuhan yang lain, bahkan dari agama yang berbeda. Bagaimana kita bisa menyatakan itu (“Tuhan” yang isembah oleh agama lain) salah atau fiktif sedangkan kita percaya bahwa memang Tuhan itu satu?. Menurutku itu pengingkaran.
Aku tak bisa menyatakan agama mana yang paling benar. Aku akan selalu bilang agamaku yang paling benar karena ini-itu. Dan aku sangat mempercayainya. Aku tak bisa bilang bahwa agama apa pun itu sama saja. Analogiku adalah kita memakan sesuatu dengan cara yang berbeda-beda. Kita mempelajari agama dari hasil kebudayaan. Kita bisa beragama karena orang lain. Begitu pula aku. Aku tak bisa serta merta menciptakan Tuhanku sendiri berikut pemujaannya. Salah satu kelemahan manusiawi adalah tak bisa menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda atau pun amat sangat sama dengan menjiplaknya atau tanpa menjiplaknya.
Agama bisa dikatakan sebagai hasil budaya. Aku condong mempercayai-karena aku yang percaya Tuhan dan beragama sejak lahir-bahwa agama diturunkan oleh Tuhan sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Secara nalar aku berpendapat, agama dan symbol-simbol keTuhanan selalu disesuaikan dengan kebudayaan kaum, karena agama lahir dari budaya. Kaum yang suka berperang menyembah dewa perang atau menganggap Tuhan sebagi sosok yang selalu melindungi mereka, kuat dan selalu memberikan kemenangan. Bangsa gurun menganggap surga sebagai daerah yang tanahnya ditumbuhi banyak tumbuhan dan selalu dialiri air. Sebagian orang menolak agama yang ada di komunitasnya. Lalu, membuat agama baru atau mempelajari agama lain yang sudah ada.
Aku sangat menghargai seorang mualaf (orang yang baru memeluk agama tertentu saat mereka dewasa) karena dia mendapatkan agama yang bukan warisannya kecuali apa yang dia pelajari dan cari kebenarannya. Tapi bukan berarti aku menyarankan untuk pindah agama. Kita yang mendapatkan agama warisan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mempelajari agama kita sendiri. Inti dari agama kita. Segala hal yang mendetail dari agama kita.
Selain sebagai bentuk pemujaan melalui ibadah-ibadahnya, Agama bisa diartikan sebagai aturan hidup. Agama berisi ajaran-ajaran yang menyarankan agar selalu berbuat baik. Untuk mempermudah ajarannya, agama membuat reward and punishment. Konsep yang dianut oleh banyak system.
Agama adalah hasil pemikiran. Agama dapat berkembang karena pemikiran-pemikiran yang dilakukan oleh penganutnya. Peletak dasar agama hanya memberikan tuntunan-tuntunan dasar yang menjadi teladan yang lalu ditelaah oleh para penerusnya.
Bagiku kerukunan antar umat beragama sangat penting. Memang banyak peradaban yang berperang karena membela agama mereka. Sama seperti 2 orang di perguruan/sekolah yang saling mempertahankan pendapat dan idealisme mereka. Tapi menurutku perang apa pun sebabnya lebih-lebih perang karena agama tak murni disebabkan oleh satu factor pemicu/dalih itu sendiri.
Sekali lagi ini adalah hasil pemikiran. Aku tak menyebarkan agama baru. Aku tak memberikan tuntunan atau ceramah. Aku tak bisa bilang tulisanku ini benar. Semua reaksi dihormati. Sebetulnya saat aku setengah mengerjakan tulisan ini, ada yang mengkritik dengan menanyakan konsep Tuhan. Aku sudah terlebih dahulu membuat apologi sebagai pengantar. Semoga Tuhan yang disembah oleh semua mahluk-tiada Tuhan selain Dia- Yang Maha Adil mengampuniku.
1 komentar:
mampir dulu le...
Posting Komentar