Laman

31 Oktober 2011

Prasangka dan Penghakiman

Hal yang paling sering saya lakukan adalah membuat penilaian tentang sesuatu. Saya ogah membaca novel “Laskar Pelangi” karena alasan penilaian pribadi.  Demikian tak sukanya sampai saya cenderung menjelek-jelekkan. Fitnah, barangkali kalau mau dikatakan dengan kasar. Saya berdalih tulisan Andrea Hirata terlalu menggurui dengan membuat banyak deskripsi, lalu saya sambung bahwa saya mau membaca novel bukan diktat kuliah. Berlanjut, saya bilang Andrea Hirata bukanlah seorang sastrawan, bagaimana mau dikata kalau yang ia tulis hanyalah diari yang dituangkan dalam sebuah tulisan deskriptif. Buku itu hanya cerita yang bisa ditemui siapa saja di negeri ini. Kalau buku itu menggugah, tak ada beda dengan motivator ulung yang saya katai sok tahu. Kalau buku itu best seller, itu karena sang penulis berulang kali diundang acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi berita. Yang tidak saya sebutkan bahwa tidak semua orang mau juga mampu menuangkan pengalamannya dalam bentuk tulisan.
Menyangkal apa yang kita ketahui akhirnya akan memangsa kita sendiri mentah-mentah sampai habis. Gunjingan saya soal buku itu berdampak luar biasa pada saya sendiri bukan pada orang lain. Seolah saya maharaja yang berpantang menjilat ludah, saya tetap bergeming membacanya. Penilaian saya soal buku itu akhirnya hanya sekilas saja, tak pernah bisa saya pertanggung jawabkan. Bila dicecar terus dengan sanggahaan, saya akhirnya hanya bisa bilang “selera pribadi, titik”. Kalau saya jadi lawan bicara saya, saya akan menilai diri saya aneh karena saya menjelek-jelekkan buku tanpa pernah membuka sampulnya. Sekali lagi saya membuka borok saya sendiri. Menunjukkan bahwa saya bebal berkepala batu. Berpantang tidak menjilat ludah tambah membuat saya sama sekali buta soal apa yang saya katakan. Semakin hina lah kebebalan saya.
Ketidak sukaan saya pada “Laskar Pelangi” sebetulnya didasari sikap ingin menonjol. Caranya dengan bertentangan dengan selera umum. Saya dapat merasa bangga karena saya berbeda. Selain ingin berbeda, ketidak sukaan pada novel itu juga karena anggapan tak sadar saya bahwa penilaian kesusastraan itu eksklusif milik orang berilmu tinggi. Pendapat orang umum-yang hanya tahu karya populer-bahwa sebuah novel adalah karya sastra bermutu tinggi, merupakan sebuah kesalahan. Artinya tanpa saya nyatakan saya sudah menilai bahwa mereka pandir, padahal saya tak tahu latar belakang orang-orang itu. Itulah prasangka yang buruk.
Berprasangka buruk dilarang oleh agama saya dan saya benarkan dengan amat yakin pada akhirnya. Sudah lihat bagaimana saya tertelan oleh kata-kata saya sendiri, bukan?. Kalau saya berprasangka seseorang adalah pembohong, hal yang terjadi adalah saya tidak melihat ada kebenaran dalam setiap kata-katanya. Kalau saya berprasangka orang itu memusuhi saya, saya akan selalu menganggap dia menyerang saya. Kemudian saya akan bertahan dengan segala cara, termasuk menyerang terlebih dahulu. Kalau prasangka saya benar, saya terhindar dari penyerangan tapi saya akan menambah masalah baru karena saya adalah pihsk yang menyerang. Bagaimana kalau prasangka saya salah?.
Prasangka buruk yang keliru akan seperti boomerang yang tidak mengenai leher kanguru, akan menghantam balik pelempar sekuat dia melemparkannya. Kalau saya hanya berprasangka buruk tanpa mengambil tindakan dan saya salah, saya akan malu pada diri saya sendiri. Tetap buruk bagi diri saya pribadi. Prasangka buruk juga membuat saya habis oleh ketakutan-ketakutan.  Orang takut itu tidak bisa berpikir logis, kebanyakan. Ketakutan dan hal lain yang disebabkan prasangka buruk menyebabkan hubungan tidak sehat dengan orang lain yang menjadi obyek prasangka. Sehatkah kalau kita berprasangka baik pada seseorang?.
Berprasangka baik boleh dikatakan hal yang terpuji sampai batasan tertentu. Batasannya adalah pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Berprasangka terlalu baik tentang suatu hal sampai lupa bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini, tak kalah fatal dengan prasangka buruk. Saya pernah berprasangka si fulan adalah orang yang tak memikirkan diri sendiri. Prasangka yang sampai di situ saja sudah berlebihan. Suatu saat, si fulan lebih mendahulukan membeli makan siang dari pada menyantuni pemain sitar keliling tua yang memainkan nada-nadanya sampai habis. Tanpa saya peduli, saya langsung menganggap si fulan tak seperti yang saya bayangkan dan seketika itu namanya jatuh ke dasar jurang keburukan di mata saya. Tentu saya berlebihan menggambarkannya tapi itulah yang terjadi kalau saya tidak memanusiakan si fulan. Memanusiakan dalam arti memaklumi kekurangan kecil yang dimiliki manusia. Saya lupa bahwa si fulan juga bisa merasa lapar. Saya abai dengan kantong si fulan yang hanya mampu memenuhi kebutuhan perutnya, lebih-lebih kalau ternyata hanya sampai makan siang saja dia bisa mengambil uang dari kantongnya.
Kadang kala saya, kita, lupa memaklumi kekurangan orang. Lupa bahwa ada banyak hal yang menyebabkan kesalahan terjadi. Lupa bahwa terkadang suatu perbuatan bukanlah suatu kesalahan kalau kita tidak abai dengan sebabnya. Lupa bahwa ada watak yang tidak baik dalam diri tiap orang. Sering kita tidak peduli bahwa karakter seseorang dibentuk oleh banyak hal, tak hanya oleh kehendak-kehendak pribadi. Kita lupa untuk memaafkan. Lupa untuk melupakan. Lupa bahwa kita harus hidup mengikuti waktu yang terus berjalan dan kita masih membiarkan kekurangan kecil orang lain yang terjadi sebelumnya menghantui pikiran kita. Saya-kita-mudah menghakimi orang per orang dan bersikap sesuai hantu-hantu yang ada di pikiran kita.
Bagus bagi kita jika selalu ingat bahwa kita berhubungan dengan segala hal yang tidak sempurna. Berprasangka baik tanpa berlebihan membuat kita menghargai orang lain berikut kekurangannya. Kata orang sejelek-jeleknya suatu hal pasti ada manfaatnya, seburuk-buruknya orang pasti ada kebaikannya. Sayangnya saat berprasangka buruk kita selalu melupakan atau menafikan sisi baik dari suatu hal. Berprasangka buruk berbeda dengan bersikap waspada. Sikap waspada menghasilkan keingintahuan yang membutuhkan kenyataan. Saya tidak bisa menghilangkan suatu prasangka. Maka, yang harus saya lakukan adalah mencari tahu. Mengingat bahwa apa pun itu di dunia ini mempunyai dua sisi.


Hearts of Borneo, 14-10-2011
 

Tidak ada komentar: