Hari ini ada kesempatan untuk pergi ke tempat sinyal telepon seluler berlimpah. Tapi, sesampai di sini aku tak tahu apa gunanya membawa telepon seluler. Teman-teman yang sepuluh menit tadi saling mengoceh dan berhimpitan denganku, kini sibuk mengoceh sendiri-sendiri dengan telepon yang digenggam lekat dekat telinga. Aku menganggur, dan itu mengganggu
Kuputuskan meneleponmu, bukan urusanku nomormu lain operator denganku. Peduli setan dengan pulsa mahal yang akan mengurangi persediaan pulsaku. Toh, di tempat kerjaku itu tak ada gunanya. Kubuka menu buku alamat, kuketik huruf depan namamu. Ya, hanya cukup huruf depannya saja maka keluar namamu. Kutekan tombol berwarna hijau bergambar gagang telepon. Nada sambung berbunyi satu kali lalu dua kali, aku mengorek-korek bangku kayu di bawah pohon terap. Tiga kali, aku mulai teringat permainan dadu dengan taruhan seluruh isi dompetku. Empat kali, jempolku sudah kugeser ke tombol merah bergambar gagang telepon. Ini nada sambung kelima, aku sayang telingaku dan nada “tut” melengking itu bisa mengganggu telingaku, aku tak mau. Belum selesai nada kelima berbunyi, terdengar suara di seberang sana.
“halo, hai apa kabar?” katamu tanpa jeda. Dari nada bicamu ada semacam percampuran rasa heran, penasaran, dan keinginan menutupi sesuatu.
“hai, baik, kamu?” kataku, dan itu basa-basi yang dibuat wajar.
“baik” katamu “kamu masih di Kalimantan?” basa-basi yang sama dengan punyaku.
“masih lah” kataku pendek berharap kamu melanjutkan.
“gimana, betah di sana?” Tuhan memang menyayangiku, banyak harapanku dikabulkanNya.
“ya..,lumayan. Di sini orang-orangnya menyenangkan” kataku mulai nyaman, tak peduli lawan bicaraku nyaman atau tidak. Lalu, kulanjutkan cerita keseharianku di sini sampai aku sadar tak sopan berpidato di telepon.
“lagi sibuk apa?” tanyaku kembali berbasa-basi. Kamu menjawab dengan menahan rasa enggan.
“oo, sukses deh pokoknya” aku mencoba menyemangati keenggananmu.
“apa kabar, Tony?” tanyaku. Itu sebuah pancingan untuk mendapatkan pertanyaan balik darimu.
“baik, Vina gimana?” ya!! Pancinganku kena, kini aku mulai menyiapkan pidatoku lagi. Kamu harus siap.
“baik banget, dia kini bahagia dengan orang lain”
“kok bisa? gimana ceritanya?” itu artinya kamu siap.
Aku ceritakan semuanya tanpa jeda. Hanya di sela-sela ceritaku kamu terus mengatakan “terus?terus?” samapi selesai pidatoku.
“yach, suatu saat kamu pasti mendapatkan yang lebih baik”
“amin” kataku pendek dan bersemangat. Bukan kalimatmu yang membuatku bersemangat, tapi suasana ini yang membuatku bersemangat. Suasana yang merobek kertas tipis di antara dua depa yang menjaraki kita.
Kini saatnya aku bergaya bicara stereotipe orang Jogja. Tanah tempatku ditempa selama 7 tahun. Nikmati saja, ini lembut mengiris dari samping bukan kasar menusuk tepat ke jantung dari depan.
“sebetulnya aku tak pernah merasa dicintai”
“kok?” tanyamu. Aku menagkap kamu mulai merobek kertas tipis di depanmu.
“iya, tapi itu bukan soal dia. Ini memang tabiatku”
“mungkin benar kata temanku anak psikologi, aku cenderung paranoid”
“tapi aku lebih nyaman merasa tidak dicintai, mungkin. Secara tidak sadar”
“gimana bisa?”tanyamu penasaran. Aku seolah menggerakkan menteri catur dengan leluasa.
“dulu, saat aku dengan Fitri, aku juga tak pernah merasa dicintai. Dan hubungan kami baik-baik saja. Sampai aku yakin dia mencintaiku”
“nah, mulai saat itu aku tak nyaman dengannya. Aku mulai menghindar perlahan-lahan dan akhirnya kuputuskan untuk putus dengannya”
“mungkin karena dia posesif akibat mencintaimu” empatimu yang berbicara. Bukan sebuah basa-basi warung kopi.
“mungkin, mungkin juga karena aku tak biasa dilayani” saat ini aku merasa berada di kursi malas empuk dengan rokok di tangan kanan, kaleng minuman di tangan kiri, dan menghadap TV berita yang menayangkan konser tahun baru sebuah orchestra music kamar dari Wina.
“Aku suka kalau dia megusap mukaku saat aku tertidur di siang hari”
“suka sekali saat dia merapikan kamarku”
“Tapi sebetulnya aku lebih suka kalau dia bermain pin ball di komputerku dan acuh dengan aku yang tertidur”
“Cewek mana yang mau seperti itu” potongmu.
“ kamu egois, itu artinya kamu tak mau diganggu, dan itu menunjukkan kalau kamu sebenarnya hanya ingin dilayani”
“mungkin” kataku cepat.
“tapi begini, aku tak nyaman saat orang lain bersusah payah mengambilkanku nasi. Walau itu ibuku. Dan menggerus cabai untuk laukku. Tanpa aku membayar.”
“untuk makan siang, aku lebih suka makan di warung prasmanan di gang. Mengambil 2 centong nasi dari termos, menaruh di piringku dan mengembalikan seperempat centong ke termos”
“mengambil lauk, masing-masing satu macam dari etalase. Menaruh piring dan mengambil minuman yang memang sudah tersedia”
“lalu aku mencuci tangan dan makan dengan menggunakan tangan sambil mengobrol dengan pemilik warung”
“Selesai makan, membawa piring ke tempat cuci piring dan aku cuci tangan. Membayar dan berpamitan pada pemilik warung”
“Hmm” gumammu. Aku abaikan gumamanmu.
“saat dengan Vina, juga seperti itu. Aku tak pernah merasa dicintai”
“Dan itu yang membuatku tidak sedih pada akhirnya”
“dulu aku merasa nyaman, karena ada teman ngobrol saat aku pulang kampung” aku mambayangkan matamu menerawang ke sekeliling kamarmu mencari adakah barang-barangmu yang belum tersusun rapi.
“tapi percayalah aku mencintainya” imbuhku takut kamu merasa aku menjelek-jelekkannya.
“dia baik padaku dan aku nyaman” aku memastikan kalu aku tak punya dendam padanya.
Kuganti topik pembicaraan.
“tukang masak di sini bersebelahan kecamatan denganmu”
“oh ya, banyak orang jawa ya di sana?” dalam bayanganku kamu sekarang merapikan tempat pensil di sebelah komputermu.
“Jawa timur tepatnya” kataku “jadi seperti berada di rumah” aku agak ragu dengan kata “rumah”. Aku pulang ke jogja. Rumah resmiku masih rumah orang tuaku di Jawa Timur.
“dia cerewet tapi baik”
“aku baru pulang dari lapangan. Mau makan siang. tiba-tiba dia memarahiku”
“dia bilang ‘hei bos, kamu tinggal piringmu begitu saja ya? macam makan diwarung’ aku jawab ‘bukan aku, aku makan pakai piring seng dan kubawa ke belakang’ kami terus rebut sambil aku makan” aku terkekeh
“pokoknya seru, non” sebenarnya kini aku mulai tak nyaman karena merasa terlalu nyaman.
Kamu ikut tertawa.
“syukurlah kalau kamu nyaman di sana” aku membayangkan senyum sekilasmu.
“sudah dulu ya, makasih lho”
“sama-sama, makasih juga sudah telepon”jawabmu
“see you,sukses ya!”
“yuk”
“assalamualaikum” salamku untuk mengulur sedikit waktu.
“waalaikum salam”jempolku langsung memencet tombol merah.
Aku yakin kamu sudah terbiasa dengan sikapku yang aneh. Meneleponmu tanpa alasan jelas dan menutupnya tanpa basa-basi.
Aku menapakkan kedua tanganku ke bangku kayu dan mengayunkan kakiku maju-mundur. Lalu aku bercengkrama dengan teman-teman semobilku menunggu mobil menjemput.
****
Aku sampai di camp, langsung ke dapur dan mengambil piring seng di rak belakang bukan piring kaca di sebelah termos nasi. Makan dengan tangan telanjang. Mbak dapur baru selesai mandi. Dengan handuk masih membalut tubuhnya, dia mengoceh dengan suara keras. Kali ini soal temanku dari camp lain yang tadi datang dan kelakuannya. Kini aku yang harus menimpali ocehannya sambil memisahkan duri-duri ikan. Dia hendak masuk kamar sebelah dapur untuk mengganti pakaian. “jangan masuk dulu, aku mau ambil susu coklat”. Aku langsung masuk kamarnya dan mengambil susu coklat. Sementara dia mengisi waktu dengan melap meja. Masih berhanduk.
Aku membawa piring ke belakang. Mencuci tangan sekalian mencuci piringku. Menyeduh air panas di gelas yang sudah kuisi bubuk susu coklat. Mengaduknya sambil berjalan ke ruang TV. Sampai aku masuk kamar, susu coklat hanya habis setengahnya. Aku letakkan di beranda. Baru besok pagi ku bawa ke dapur untuk kucuci.[]
Jogja, 15 Januari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar