In an age like ours, which is not given to letter-writing, we
forget what an important part it used to play in people's lives. (Anatole Broyard)*
Dalam
blog saya, saya sering menyebut si tenggoret. Dia kawan sekampus saya, kemudian
menjadi sejawat kerja saya. Dulu saat kami masih bekerja di institusi yang
sama, dia pernah mengatakan kalau dia ingin punya sahabat pena. Entah bagaimana
persis katanya, saya lupa. Pun demikian dengan kejadian yang melatarbelakangi
perkataannya. Yang jelas kemudian saya menjabat tangannya dan berikrar untuk berkirim
surat kelak jika dia sudah pergi ke ujung timur Indonesia.
Dua
tahun sudah berselang, beberapa kali saya saling menyurat dengannya. Mulanya saya
tagih dia berkirim kartu pos dari tempat kerja barunya. Dikiriminya saya kartu persegi
panjang bergambar landmark kota. Ditulisnya
sebuah kalimat penyemangat. Waktu itu saya masih berjuang untuk lulus. Kartu
pos dia kirim dengan sebuah perangko 10.000 rupiah. Lama sampai ke tangan saya.
Berkaca dari sana, saya balas suratnya via kilat khusus.
Tak
sah rasanya berkirim surat tanpa perangko. Sebelum saya segel, saya tempelkan
perangko di kertas surat. Setelahnya kami baku balas surat. Isinya kehidupan
kami masing-masing. Juga saling menimpali isi surat sebelumnya. Yang tak pernah
luput dari isi surat adalah cita-cita kami. Berbagi cita-cita bisa membuat kita
selalu ingat tentang apa yang menjadi tujuan hidup. Seolah ada yang mendorong
untuk menggapai semua tujuan yang kita inginkan. Si tenggoret ingin menjadi
penulis demikian juga saya. Maka, menulis surat kami anggap sebagai latihan
menulis.
Saya
pribadi demikian menikmati menulis surat. Mungkin karena saya seorang
konservatif yang gila romantisme masa lalu. Saya bahkan ingin mempunyai stempel
segel lengkap dengan lilin ala surat jaman dulu. Sayang, saya kurang tahu
dimana harus membeli perlengkapan semacam itu. Satu yang selalu saya lupakan adalah
membeli penyobek amplop dari kayu yang dibatik. Sebetulnya saya bisa dengan
mudah membelinya di Jogja.
Saya
selalu menulis surat dengan tangan. Saya ingin membeli pena, bukan ballpoint atau gellpen. Menurut saya, menulis surat dengan cara seklasik mungkin
merupakan suatu kenikmatan. Memang, kini menulis surat adalah sesuatu yang
klasik. Saya memilih kata klasik, karena kata kuno lebih berkonotasi negatif. Menulis
surat bisa diartikan sebagai pekerjaan yang ketinggalan jaman. Kini orang
memilih menggunakan telepon, faksimili, atau surat elektronik. Segalanya bisa
menjadi lebih praktis. Tapi justru ketidak praktisan adalah seni menulis surat.
Menulis
surat yang tidak praktis itu adalah hal yang romantic. Saya ingat teman saya
selalu dikirimi surat oleh bapaknya yang seorang guru. Dikirim dalam tulisan
tangan beraksara latin namun berbahasa Madura. Bahasa yang mereka gunakan
sehari-hari. Membaca surat teman saya itu saya membayangkan sang bapak duduk di
depan meja dengan konsentrasi tinggi mencurahkan harapan dan doa untuk teman
saya.
Romantisme
surat bisa kita lihat dari frasa surat cinta. Di dunai modern dimana segala
jenis telepon bukanlah barang mewah, frasa surat cinta tidak tergantikan. Saya tidak
pernah ada orang menyebut telepon cinta, kecuali untuk gurauan. Buat sebagian
orang mungkin hanya menyebut kata surat saja, bisa dikonotasikan dengan surat
cinta. Naphentes, mantan pacar saya pernah marah-marah karena saya berkirim
surat dengan si tenggoret. Sudahlah, begitu memang orang berpacaran.
Dengan mengirim surat saya
bermimpi jika saya menjadi orang besar dan kemudian meninggal-saya tidak
berharap cepat mati-surat saya dapat dibukukan. Seperti Kartini dengan buku ‘Habis
Gelap Terbitlah Terang’ atau Allen dan Louis Ginsberg dalam buku ‘Family Business’.
Surat bisa mendokumentasikan hidup kita dan lebih jauh lagi pemikiran-pemikiran
kita.
*quote saya ambil dari blog itu
4 komentar:
hmm...saya jadi ingin menulis surat. menulis, bukan mengetikya...kayaknya tulisan saya udah kayak sandi rumput deh sekarang...
ayo belajar nulis tangan lagi ay...beli buku halus na...
hehehehe
ayo surat2an ma aku ya real,mau???????
Saya tahu dimana membeli stempel segel berlilin.
Kedua, suatu saat nanti juga kamu mungkin ingin seperti Gerry dalam karya Cecilia Ahern di P.S I love You.
Posting Komentar