Laman

03 Mei 2012

Sahabat Pena


In an age like ours, which is not given to letter-writing, we forget what an important part it used to play in people's lives.  (Anatole Broyard)*
Dalam blog saya, saya sering menyebut si tenggoret. Dia kawan sekampus saya, kemudian menjadi sejawat kerja saya. Dulu saat kami masih bekerja di institusi yang sama, dia pernah mengatakan kalau dia ingin punya sahabat pena. Entah bagaimana persis katanya, saya lupa. Pun demikian dengan kejadian yang melatarbelakangi perkataannya. Yang jelas kemudian saya menjabat tangannya dan berikrar untuk berkirim surat kelak jika dia sudah pergi ke ujung timur Indonesia.
Dua tahun sudah berselang, beberapa kali saya saling menyurat dengannya. Mulanya saya tagih dia berkirim kartu pos dari tempat kerja barunya. Dikiriminya saya kartu persegi panjang bergambar landmark kota. Ditulisnya sebuah kalimat penyemangat. Waktu itu saya masih berjuang untuk lulus. Kartu pos dia kirim dengan sebuah perangko 10.000 rupiah. Lama sampai ke tangan saya. Berkaca dari sana, saya balas suratnya via kilat khusus.

Tak sah rasanya berkirim surat tanpa perangko. Sebelum saya segel, saya tempelkan perangko di kertas surat. Setelahnya kami baku balas surat. Isinya kehidupan kami masing-masing. Juga saling menimpali isi surat sebelumnya. Yang tak pernah luput dari isi surat adalah cita-cita kami. Berbagi cita-cita bisa membuat kita selalu ingat tentang apa yang menjadi tujuan hidup. Seolah ada yang mendorong untuk menggapai semua tujuan yang kita inginkan. Si tenggoret ingin menjadi penulis demikian juga saya. Maka, menulis surat kami anggap sebagai latihan menulis.
Saya pribadi demikian menikmati menulis surat. Mungkin karena saya seorang konservatif yang gila romantisme masa lalu. Saya bahkan ingin mempunyai stempel segel lengkap dengan lilin ala surat jaman dulu. Sayang, saya kurang tahu dimana harus membeli perlengkapan semacam itu. Satu yang selalu saya lupakan adalah membeli penyobek amplop dari kayu yang dibatik. Sebetulnya saya bisa dengan mudah membelinya di Jogja.
Saya selalu menulis surat dengan tangan. Saya ingin membeli pena, bukan ballpoint atau gellpen. Menurut saya, menulis surat dengan cara seklasik mungkin merupakan suatu kenikmatan. Memang, kini menulis surat adalah sesuatu yang klasik. Saya memilih kata klasik, karena kata kuno lebih berkonotasi negatif. Menulis surat bisa diartikan sebagai pekerjaan yang ketinggalan jaman. Kini orang memilih menggunakan telepon, faksimili, atau surat elektronik. Segalanya bisa menjadi lebih praktis. Tapi justru ketidak praktisan adalah seni menulis surat.
Menulis surat yang tidak praktis itu adalah hal yang romantic. Saya ingat teman saya selalu dikirimi surat oleh bapaknya yang seorang guru. Dikirim dalam tulisan tangan beraksara latin namun berbahasa Madura. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Membaca surat teman saya itu saya membayangkan sang bapak duduk di depan meja dengan konsentrasi tinggi mencurahkan harapan dan doa untuk teman saya.
Romantisme surat bisa kita lihat dari frasa surat cinta. Di dunai modern dimana segala jenis telepon bukanlah barang mewah, frasa surat cinta tidak tergantikan. Saya tidak pernah ada orang menyebut telepon cinta, kecuali untuk gurauan. Buat sebagian orang mungkin hanya menyebut kata surat saja, bisa dikonotasikan dengan surat cinta. Naphentes, mantan pacar saya pernah marah-marah karena saya berkirim surat dengan si tenggoret. Sudahlah, begitu memang orang berpacaran.
Dengan mengirim surat saya bermimpi jika saya menjadi orang besar dan kemudian meninggal-saya tidak berharap cepat mati-surat saya dapat dibukukan. Seperti Kartini dengan buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ atau Allen dan Louis Ginsberg dalam buku ‘Family Business’. Surat bisa mendokumentasikan hidup kita dan lebih jauh lagi pemikiran-pemikiran kita.

*quote saya ambil dari blog itu

4 komentar:

Unknown mengatakan...

hmm...saya jadi ingin menulis surat. menulis, bukan mengetikya...kayaknya tulisan saya udah kayak sandi rumput deh sekarang...

Real sukmana Fu mengatakan...

ayo belajar nulis tangan lagi ay...beli buku halus na...
hehehehe

Gullit T. Taufan mengatakan...

ayo surat2an ma aku ya real,mau???????

Kim mengatakan...

Saya tahu dimana membeli stempel segel berlilin.

Kedua, suatu saat nanti juga kamu mungkin ingin seperti Gerry dalam karya Cecilia Ahern di P.S I love You.