Laman

22 September 2013

Respon Masyarakat, dan Media Massa


Dunia dewasa ini memang tak habisnya bergejolak, sehingga butuh untuk terus diikuti perkembangannya. Direspon paling tidak. Respon pun bermacam cara yang mewakili kadar atau tingkatannya. Ada respon dalam bentuk perbuatan, melalui lisan, bahkan hanya melalui kebathinan. Tentu tingkatan respon tersebut saya adopsi dari hadits Nabi soal keimanan. Saya pikir respon dan keimanan mempunyai kesamaan, yaitu berkaitan dengan kualitas karakter orang per orang atau entitas per entitas.

Di benak saya, respon dalam bentuk perbuatan di tahun-tahun pasca reformasi ini lebih banyak berkonotasi negatif. Ini karena apa yang heboh diberitakan berkaitan dengan perbuatan beberapa bagian masyarakat kita dalam merespon suatu isu. Taruhlah isu agama. Dalam tema-tema berita berkaitan dengan respon masyarakat terhadap isu agama, hampir selalu diberitakan mengenai sweeping suatu kelompok masyarakat dengan paham tertentu terhadap kelompok yang tak sepaham tak sejalan. Respon semacam ini saya kategorikan sebagai respon dari tingkatan manusia yang tidak berkedudukan tinggi di mata masyarakat. Seandainya kelompok masyarakat yang pertama tadi memiliki kedudukan yang lebih tinggi, tentu responnya akan lain lagi. Entitas manusia yang mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat biasanya merespon dengan cara yang halus, legal dan bisa diterima masyarakat. Contoh entitas-entitas yang berkedudukan tinggi di masyarakat antara lain disebut Tokoh, Pejabat, atau Aparat. Bentuk responnya bisa berupa mengeluarkan fatwa, anjuran, dorongan, bahkan penjagaan atau yang kegiatannya kasar tapi legal yang disebut penindakan.


Sayangnya respon yang halus dan legal tanpa cela tidak direspon oleh media massa dengan pemberitaan yang gencar, kecuali bila dilakukan oleh pemegang saham suatu media massa. Alasannya sederhana, berita yang halus dan legal tidak memancaing reaksi yang berlebihan dari masyarakat. Berita akan menjadi gencar bila ada masyarakat yang tidak suka dengan apa yang diberitakan. Inilah kesukaan media massa, respon pangkat tiga, artinya berita yang bisa dilipat gandakan tiga kali. Diawali dengan berita soal isu agama kemudian berlipat menjadi berita mengenai respon kelompok tertentu, lalu kemudian muncul anjuran para tokoh, dorongan dan fatwa pejabat, disusul penindakan aparat, dan diperbesar oleh respon masyarakat terhadap apa yang dilakukan oleh tokoh, pejabat dan aparat. Media massa dapat merespon semuanya dengan baik dan menguntungkan.

Respon media adalah respon lisan. Kabar berita pada dasarnya adalah suatu respon lisan. Jaman dulu, orang berkabar dari mulut ke mulut. Jaman sejarah memungkinkan manusia menulis dan mebaca suatu kabar. Pada jaman teknologi canggih, segala amcam cara menjadi mungkin. Namun, logika yang dipakai tetaplah logika lisan. Respon media adalah respon dari pihak netral. Duduknya di mana kabur sudah kita merabanya. Saya pikir media massa juga tak peduli soal kedudukan mereka di mata masyarakat.
Gambar diambil dari sini
Respon lisan dari orang yang tidak punya kedudukan tinggi dilakukan langsung oleh si empunya. Untuk apa pula diwakilkan. Toh, omongannya tidak mewakili siapa-siapa, bukan?!.Lain lagi bila respon lisan dilakukan oleh orang berkedudukan tinggi. Dia duduk merespon lisan mewakili lembaga di mana dia duduk, entah itu formal, informal, maupun non formal. Nah, pejabat yang duduk di lembaga-lembaga formallah yang tak bisa kemana-mana. Lisan harus dijaga, karena lisannya adalah duta. lebih-lebih bila ia seorang kepala. Agar lisan tak perlu berbusa-busa tak berguna, maka dibayarlah orang yang siap berbicara tepat guna. Hatta, disebutlah si penjual jasa dengan tukang, Juru kalau mau lebih sopan. Jadilah penjual jasa berbicara disebut juru bicara. Jubir singkatannya. Perkara janggal atau tidak pemenggalan katanya, dari "Juru" menjadi "ju" dan "bir" untuk bicara, lumrah saja bagi masyarakat Indonesia. Hal yang dianggap lumrah tidak layak dijadikan berita. Jubir menjadi incaran media. Tugas utamanya memang menghadapi media massa. Jubir harus siap merespon segala macam isu tanpa memancing respon balik.

Ada respon lain yang tak diketahui orang lain, yaitu diam membatin saja. hanya dua entitas yang melakukan respon semacam ini. Orang yang tidak lagi peduli, dan orang yang bijaksana. Saya orang yang ingin menjadi bijaksana, artinya saya belum bijaksana. namun, saya tidak suka disebut tidak peduli. Sekedar mencari keberadaan diri di dunia maya, saya tulis artikel ini. No offence, no hurt feeling kata orang Inggris. Demikianlah menurut saya dunia ini dipenuhi oleh media massa. Semoga Yang Maha Kuasa melapangkan kasih sayangNya.

*dibuat. 15-7-2013

Tidak ada komentar: