Saya terbangun oleh getaran
ponsel yang menandakan masuknya pesan pendek. Hari masih terlalu pagi untuk
makhluk nocturnal seperti saya dan sudah harus was-was membaca beberapa kata
awal pesan tersebut. Pesan dalam bahasa inggris dikirim dari nomor yang hanya
terdiri dari 5 digit angka.
‘Real, how is the development of
your topic?’
Hanya satu kalimat dalam satu
pesan itu. Saya masih linglung mendapati diri terbangun di sebuah bangku empuk
dengan pendingin udara berembun di atas kepala. Pesan kedua muncul kurang
semenit dari pesan pertama.
“Have you met your ‘supervisor’
and your ‘liaison lecturer’?”
Kini saya sudah sadar sepenuhnya, karena itu
saya menggumamkan setiap kata dalam pesan itu untuk menarik perhatian mantan
wakil presiden Asosiasi Mahasiswa Kehutanan Internasional yang duduk di sebelah
saya. Berharap dia bisa menelaahkan artinya. Belum sempat perempuan berjilbab
itu membuka mulutnya, pesan berikutnya muncul memberi sedikit titik terang
tentang siapa yang mengirim pesan tersebut.
“Please sent me the info to this
number, I can’t use my phone in here, I’m in Kyoto”
Menyadari pesan tersebut dikirim
dan sampai ke tangan saya di hari kerja, detak jantung terasa bertambah cepat. Di
hari kerja, seharusnya saya terbangun di kasur tipis rumah kontrakan, terhuyung
menyambar rokok, dengan kaki lunglai meneguk air putih, mencangkung di atas
jamban, mengguyur air dingin ke atas kepala, dan bergegas memakai kemeja. Pagi
itu saya di atas bus cepat antar propinsi, ditawari permen karet oleh teman
saya, menenggak seperempat botol minuman isotonik, kaki terlipat menahan
dingin, wajah terasa lengket, dan memakai celana pendek sementara kemeja batik
berada di bagasi atas.
“I’ve met my ‘liaison officer’,
but I’ve not seen my ‘supervisor’ on his desk since our last discussion, Pak.
Hopefully I’ll see him tomorrow. I’m on my way to Gresik attending my closest
friend’s wedding. This late evening I’ll be in Jogja”
Saya membalas pesan pendek
tersebut, berharap penanggung jawab saya mengerti itu adalah hari istimewa. Pesan
terkirim dalam dua kali pengiriman, dan saya mendapat jawaban singkat yang
melegakan.
“OK” jawab penanggung jawab saya
dengan gaya khasnya sekaligus menandakan itu memang inisialnya. Sudah cukup
untuk menyandarkan kepala kembali. Saya dan perempuan berjilbab di sebelah
kemudian menggunjing tentang pernikahan yang akan berlangsung kurang dari empat
jam lagi. Kami musyafir yang akan menghadiri acara pernikahan.
Lebih dari empat bulan sebelumnya
saya sudah diundang melalui telepon. Di jaman gegar teknologi seperti ini, cara
yang paling praktis lah yang paling dapat diterima. Bukan menepikan adat dan
kesopanan, bagi saya pesan langsung dari pihak yang berkepentingan sudah
berlebih untuk memaksa saya menyempatkan datang. Terlampau berat untuk tidak
datang sejak seminggu sebelumnya Oom Pam datang menghadiri reuni fakultas dan
menceritakan apa saja yang akan dikerjakannya di hari pernikahannya. Toh,
seandainya hanya sebungkus rokok yang dikirim atas namanya melalui orang yang
sama sekali belum pernah saya lihat, saya akan tetap datang. Saya ingin
melihat, bagaimana tampang penjahat cinta itu di hari dia terikat untuk hidup
berpasangan selamanya.
Tak sebulan pun sejak saya kenal,
Oom Pam tidak berpacaran. Setidaknya empat wanita pernah menginterupsi diskusi
sengit di antara kami dalam delapan tahun terakhir. Seorang santriwati memaksa
saya menyudut digigit nyamuk di antara duri-duri tanaman euphorbia, menikmati
adegan drama yang sedang berlangsung di bawah temaram bohlam 10 Watt. Seorang
putri polisi membuat saya menjemput Oom Pam di kos putri, dan untuk gantinya, saya
membawa pulang fable bermoral motivasi. Orang yang sama juga menciptakan
situasi di mana Oom Pam memaksa saya segera menghabiskan buku tersebut agar
urusan percintaannya segera habis. Seorang anak gadis perwira karir membuat
saya beralibi tentang baterai ponsel Oom Pam dan lebih sering memutar akal
bulus menjawab di mana keberadaan Oom Pam. Seorang calon dokter gigi membuat
orang satu kantor bosan mendengar Oom Pam mengeluh giginya harus diperiksa
setiap akhir minggu, di propinsi lain pula.
Tiga tahun terakhir saya tak
pernah lagi mendengar Oom Pam berkisah tentang drama lampu temaram, akhir
cerita sebuah fable, atau tentang baterai ponselnya yang harus sering dicas.
Semua baik-baik saja, termasuk kesehatan giginya yang rutin diperiksa empat
kali setahun jauh-jauh ke Jawa dari tempatnya bekerja di hulu sungai Kapuas,
Kalimantan Barat. Kesehatan gigi Oom Pam selalu terjaga dan dia berhasil
membuat gigi gadis itu terpangur. Jam 9 nanti, saya sudah harus duduk di
deretan kursi di depan rumah si gadis di Gresik. Tidak untuk memeriksakan
kesehatan gigi, saya akan menonton gigi Oom Pam gemeretak menunggu jabat tangan
ayah gadis itu.
Saya tiba pukul setengah tujuh
pagi di Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo. Terminal yang bagaimana pun
disapu dan dipel, tak pernah tampak bersih di mata saya sejak dulu. Saya segera
mengambil sebatang rokok di saku dan duduk di sebelah orang yang juga
merokok, tepat di sebelah asbak besar.
Saya berunding dengan teman saya apakah harus minta dijemput teman alumni yang
ada di Surabaya atau segera langsung ke Gresik menumpang bus kota. Tak salah
mencoba meminta bantuan teman sehingga teman alumni di Surabaya setuju
menjemput di terminal, namun tak salah juga kalau akhirnya dia tak kunjung
sampai ke terminal karena macet. Kami akhirnya meneruskan perjalanan menumpang
bus seperti rencana semula.
Kami tiba di tempat acara sesaat
sebelum acara dimulai dengan badan sedikit lebih bersih dan pakaian resmi. Akad
nikah diadakan di dalam rumah, sedangkan para tamu undangan menyaksikan dari
layar datar yang terpasang di bawah tenda resepsi. Saya memperhatikan semua
hadirin untuk mencari sosok-sosok yang mungkin saya kenal. Akhirnya saya
memberanikan diri menyapa sok akrab seorang pria.
“Sampeyan teman Oom Pam satu kos
ya?”
“Iya, pantas tadi saya perhatikan
koq sampeyan seperti saya kenal. Tapi di mana? pikir saya” jawab pria tadi.
Selanjutnya saya mengobrol santai
dengan tamu tadi setelah sebelumnya mengambilkan tempat duduk untuk teman
seperjalanan saya yang kebetulan saja perempuan. Tiba-tiba ada seorang bapak
muda menegur saya yang duduk di luar naungan tenda.
“koq ga masuk ke dalam Mas?”
katanya sopan dan hangat.
“ah, ga enak Pak, sepertinya cuma
keluarga inti yang di dalam” jawab saya sungkan.
“lha? Mas bukan kru fotografer
ya?” Entah apa yang ada di pikiran bapak muda yang menggendong anak kecil itu.
Saya mengumpat dalam hati namun menjawab sopan.
“oh bukan pak, saya tamu”. Bapak
itu tampak salah tingkah dan berlalu.
Saya memeriksa ulang dandanan
saya sekilas mata. Kemeja batik, celana jeans hitam, dan sepatu kulit. Saya
pikir saya tidak salah kostum. Sempat menyusup tanya dalam hati, apa yang salah
dengan hari kelahiran, tahi lalat di atas sudut mata kiri, rambut ikal susah
ditata, dan hidung pesek yang melekat di diri ini sehingga orang sering salah
kira?!. Saya tak terlalu memusingkannya, sudah terbiasa. Mata kembali menatap
layar.
Pembawa acara meminta hadirin
untuk tenang melalui mikrofon. Selanjutnya dia berbisik ke orang di sebelahnya
memeriksa kelengkapan pernikahan. Tampak di layar, kamera menyorot Oom Pam yang
ekor matanya menyapu ke kiri dan ke kanan, ciri khasnya bila berada pada
situasi di mana dia tak tahu harus berbuat bagaimana. Ritual pernikahan pun
dimulai dengan sedikit kutipan dalil-dalil agama yang dibawakan oleh pembawa
acara, dilanjut pembacaan surat Al fatihah. Oom Pam tertunduk bersila dengan
dada dibuat tegap, membaca Ummul Kitab dengan hidung yang membegar. Kini
penghulu membimbing Oom Pam membaca Istighfar. Mikrofon disodorkan kepadanya,
Oom pam memegang sendiri mikrofonnya. Suaranya terdengar sedikit gemetar saat
membacakannya. Suasananya benar-benar sacral seperti memang seharusnya prosesi
nikah dilaksanakan. Saya sempat melihat mata Oom Pam berkabut dan bersemu
magenta dengan mulut melantunkan istighfar yang semakin meninggi bergetar, dia
melanjutkan bacaan istighfar dengan menjauhkan mikrofon.
Proses akad nikah dilaksanakan
dengan sangat cepat. Oom Pam menjawab dengan satu tarikan nafas dan jabat
tangan yang sangat mantab. Kontan semua yang hadir menjawab “Sah!”, saya
bertepuk tangan kecil. Kami semua yang datang berdoa dipimpin penghulu. Si
dokter gigi datang bergaun putih sepadan dengan kostum yang dikenakan Oom Pam. Setelahnya,
semua yang di layar tampak seperti tayangan Infotainmen. Oom Pam menyerahkan
mahar pada istrinya. Istrinya mencium tangan Oom Pam. Mereka saling memakaikan
cincin di jari manis pasangannya. Pembawa acara meminta mereka memamerkan
cincin tersebut untuk difoto. Hari itu Oom Pam bak Ibas Yudhoyono dalam badan
yang lebih tambun.
Kedua mempelai berfoto dengan
orang tua dan keluarga dekat. Lalu, raja dan ratu sehari itu digiring menuju
pelaminan. Layar datar disimpan, kursi-kursi ditata ulang. Sebelum para tamu
dipersilahkan memberi selamat kepada pengantin, pembawa cara mengumumkan kepada
hadirin untuk berkumpul di depan pelaminan. Diterangkan bahwa wali nikah hendak
berbagi kebahagiaan dan rejeki. Saya lupa nama persisnya, semacam adat
membagi-bagikan pecahan uang dengan cara dilemparkan untuk diperebutkan
hadirin. Pembawa acara menerangkan bahwa si dokter gigi adalah anak bungsu dari
wali nikah dan semua kakak-kakaknya sudah dinikahkan. Adat melempar uang berarti
menutup acara-acara pernikahan yang dilangsungkan oleh wali nikah, harapannya
wali nikah tidak akan menikahkan anaknya lagi. Maksud tersirat dari adat itu
adalah semua cinta anak-anaknya abadi sampai maut menjemput. Kata amin pasti
terselip dalam sanubari setiap hadirin, mengakhiri pengantar dari pembawa acara.
Uang dalam pinggan bercampur
kelopak-kelopak bunga di lemparkan. Suasana riuh rendah oleh suara-suara
teriakan bahagia. Hadirin seolah menjadi anak-anak kembali. Saya tak kebagian,
namun tetap saja acara ini menyenangkan. Tuntas sudah tanggung jawab orang tua.
Oom Pam memikul tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi anak tuan rumah
begitu dia mengikrarkan akad. Saya yakin dia tahu konsekuensi dan tanggung
jawabnya. Dia menawarkan diri untuk menerima tanggung jawab membimbing si anak bungsu. Dia sadar
sepenuhnya dirinya juga bungsu, tapi jangan anggap remeh bungsu satu ini. Dia
kebapakan, adik-adik kelas satu jurusannya memanggil dia Pak’e. Bila ada
kegiatan yang mengharuskan memasak sendri, mereka menunggu Pak’e memegang
muntu. Mereka bilang sambal buatannya nomor satu, mana saya tahu. Kami lebih
sering makan pedas di warung.
Makan pedas kemudian merokok
sudah menjadi kelakuan berdua. Walaupun, saat terakhir ke jogja dia mengaku
tidak kecanduan lagi pada kedua hal itu. Dia bahkan menyarankan saya menjauhi
keduanya demi kesehatan dubur saya. Semua teman kami tahu, kami punya wasir.
Saya, terlebih Oom pam memang gampang mengumbar cerita. Hanya hal-hal yang
benar-benar menjadi cita-citanya saja yang tidak dia umbar. Dia sering berceritera
banyak hal pada saya. Untuk kelakuannya tak perlu dia ceritakan, saya sedikit
hafal polahnya. Oom Pam gampang untuk segera lelap, dan dia benci dengan
mamalia peliharaan. Suatu saat dia tertidur di kamar saya beberapa saat setelah
kami berdiskusi, saya yang keluar untuk ke kamar kecil mendapatinya sudah pulas
sehingga saya tidur saja di tempat yang tersisa. Oom Pam terlelap di posisi
biasanya saya tidur. Pagi harinya, Oom Pam berteriak-teriak membangunkan saya.
Rupanya kucing saya mencium-ciumnya meminta makan. Tahu rasa dia.
Soal kucing saya pikir akan
menjadi sedikit pasir di antara dia dan si dokter gigi. Sejak kepulangannya
dari kunjungan pertama menyambangi si dokter gigi tiga tahun lalu, Oom Pam
sudah bercerita tentang kucing-kucing si dokter gigi. Seminggu menjelang
pernikahannya, saya menawarkan untuk mengadopsi kucing-kucing itu. Mereka
berdua tidak keberatan, tetapi Oom Pam mempertanyakan siapa yang akan menjaga
bila saya masuk hutan. Saya berpikir ulang dan tidak meneruskan pembicaraan.
Saat saya memberi selamat pada Oom Pam dan istrinya di pelaminan hari itu, saya
tak melihat ada kucing yang didandani.
Resepsi pernikahan Oom Pam sangat
sederhana namun hangat. Makanan yang disediakan, enak dan tidak berlebihan,
kebanyakan makanan tradisional. Sebagai pengiring, ada organ tunggal dan
penyanyi seksi berpakaian sopan. Hadirin bebas saja duduk dan bercengkrama.
Saat kami di sana, tak banyak tamu undangan. Kemudian hari saya tahu bahwa
waktu setelah akad memang dikhususkan untuk kawan-kawan mempelai berdua. Cara
yang sangat tepat untuk merayakan pernikahan.
Semoga sampeyan tidak berfikir yang di sebelah Pengantin Pria adalah Tukang Foto, Karena foto ini tidak diambil dengan bantuan tripod |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar