Laman

25 Juni 2013

Ke Nikahan Oom Pam



Saya terbangun oleh getaran ponsel yang menandakan masuknya pesan pendek. Hari masih terlalu pagi untuk makhluk nocturnal seperti saya dan sudah harus was-was membaca beberapa kata awal pesan tersebut. Pesan dalam bahasa inggris dikirim dari nomor yang hanya terdiri dari 5 digit angka. 

‘Real, how is the development of your topic?’

Hanya satu kalimat dalam satu pesan itu. Saya masih linglung mendapati diri terbangun di sebuah bangku empuk dengan pendingin udara berembun di atas kepala. Pesan kedua muncul kurang semenit dari pesan pertama.

“Have you met your ‘supervisor’ and your ‘liaison lecturer’?”

Kini saya sudah sadar sepenuhnya, karena itu saya menggumamkan setiap kata dalam pesan itu untuk menarik perhatian mantan wakil presiden Asosiasi Mahasiswa Kehutanan Internasional yang duduk di sebelah saya. Berharap dia bisa menelaahkan artinya. Belum sempat perempuan berjilbab itu membuka mulutnya, pesan berikutnya muncul memberi sedikit titik terang tentang siapa yang mengirim pesan tersebut.

“Please sent me the info to this number, I can’t use my phone in here, I’m in Kyoto”
Menyadari pesan tersebut dikirim dan sampai ke tangan saya di hari kerja, detak jantung terasa bertambah cepat. Di hari kerja, seharusnya saya terbangun di kasur tipis rumah kontrakan, terhuyung menyambar rokok, dengan kaki lunglai meneguk air putih, mencangkung di atas jamban, mengguyur air dingin ke atas kepala, dan bergegas memakai kemeja. Pagi itu saya di atas bus cepat antar propinsi, ditawari permen karet oleh teman saya, menenggak seperempat botol minuman isotonik, kaki terlipat menahan dingin, wajah terasa lengket, dan memakai celana pendek sementara kemeja batik berada di bagasi atas.

“I’ve met my ‘liaison officer’, but I’ve not seen my ‘supervisor’ on his desk since our last discussion, Pak. Hopefully I’ll see him tomorrow. I’m on my way to Gresik attending my closest friend’s wedding. This late evening I’ll be in Jogja” 

Saya membalas pesan pendek tersebut, berharap penanggung jawab saya mengerti itu adalah hari istimewa. Pesan terkirim dalam dua kali pengiriman, dan saya mendapat jawaban singkat yang melegakan.

“OK” jawab penanggung jawab saya dengan gaya khasnya sekaligus menandakan itu memang inisialnya. Sudah cukup untuk menyandarkan kepala kembali. Saya dan perempuan berjilbab di sebelah kemudian menggunjing tentang pernikahan yang akan berlangsung kurang dari empat jam lagi. Kami musyafir yang akan menghadiri acara pernikahan.
Lebih dari empat bulan sebelumnya saya sudah diundang melalui telepon. Di jaman gegar teknologi seperti ini, cara yang paling praktis lah yang paling dapat diterima. Bukan menepikan adat dan kesopanan, bagi saya pesan langsung dari pihak yang berkepentingan sudah berlebih untuk memaksa saya menyempatkan datang. Terlampau berat untuk tidak datang sejak seminggu sebelumnya Oom Pam datang menghadiri reuni fakultas dan menceritakan apa saja yang akan dikerjakannya di hari pernikahannya. Toh, seandainya hanya sebungkus rokok yang dikirim atas namanya melalui orang yang sama sekali belum pernah saya lihat, saya akan tetap datang. Saya ingin melihat, bagaimana tampang penjahat cinta itu di hari dia terikat untuk hidup berpasangan selamanya.
Tak sebulan pun sejak saya kenal, Oom Pam tidak berpacaran. Setidaknya empat wanita pernah menginterupsi diskusi sengit di antara kami dalam delapan tahun terakhir. Seorang santriwati memaksa saya menyudut digigit nyamuk di antara duri-duri tanaman euphorbia, menikmati adegan drama yang sedang berlangsung di bawah temaram bohlam 10 Watt. Seorang putri polisi membuat saya menjemput Oom Pam di kos putri, dan untuk gantinya, saya membawa pulang fable bermoral motivasi. Orang yang sama juga menciptakan situasi di mana Oom Pam memaksa saya segera menghabiskan buku tersebut agar urusan percintaannya segera habis. Seorang anak gadis perwira karir membuat saya beralibi tentang baterai ponsel Oom Pam dan lebih sering memutar akal bulus menjawab di mana keberadaan Oom Pam. Seorang calon dokter gigi membuat orang satu kantor bosan mendengar Oom Pam mengeluh giginya harus diperiksa setiap akhir minggu, di propinsi lain pula.
Tiga tahun terakhir saya tak pernah lagi mendengar Oom Pam berkisah tentang drama lampu temaram, akhir cerita sebuah fable, atau tentang baterai ponselnya yang harus sering dicas. Semua baik-baik saja, termasuk kesehatan giginya yang rutin diperiksa empat kali setahun jauh-jauh ke Jawa dari tempatnya bekerja di hulu sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Kesehatan gigi Oom Pam selalu terjaga dan dia berhasil membuat gigi gadis itu terpangur. Jam 9 nanti, saya sudah harus duduk di deretan kursi di depan rumah si gadis di Gresik. Tidak untuk memeriksakan kesehatan gigi, saya akan menonton gigi Oom Pam gemeretak menunggu jabat tangan ayah gadis itu.
Saya tiba pukul setengah tujuh pagi di Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo. Terminal yang bagaimana pun disapu dan dipel, tak pernah tampak bersih di mata saya sejak dulu. Saya segera mengambil sebatang rokok di saku dan duduk di sebelah orang yang juga merokok,  tepat di sebelah asbak besar. Saya berunding dengan teman saya apakah harus minta dijemput teman alumni yang ada di Surabaya atau segera langsung ke Gresik menumpang bus kota. Tak salah mencoba meminta bantuan teman sehingga teman alumni di Surabaya setuju menjemput di terminal, namun tak salah juga kalau akhirnya dia tak kunjung sampai ke terminal karena macet. Kami akhirnya meneruskan perjalanan menumpang bus seperti rencana semula.
Kami tiba di tempat acara sesaat sebelum acara dimulai dengan badan sedikit lebih bersih dan pakaian resmi. Akad nikah diadakan di dalam rumah, sedangkan para tamu undangan menyaksikan dari layar datar yang terpasang di bawah tenda resepsi. Saya memperhatikan semua hadirin untuk mencari sosok-sosok yang mungkin saya kenal. Akhirnya saya memberanikan diri menyapa sok akrab seorang pria.
“Sampeyan teman Oom Pam satu kos ya?”

“Iya, pantas tadi saya perhatikan koq sampeyan seperti saya kenal. Tapi di mana? pikir saya” jawab pria tadi.

Selanjutnya saya mengobrol santai dengan tamu tadi setelah sebelumnya mengambilkan tempat duduk untuk teman seperjalanan saya yang kebetulan saja perempuan. Tiba-tiba ada seorang bapak muda menegur saya yang duduk di luar naungan tenda.

“koq ga masuk ke dalam Mas?” katanya sopan dan hangat.

“ah, ga enak Pak, sepertinya cuma keluarga inti yang di dalam” jawab saya sungkan.

“lha? Mas bukan kru fotografer ya?” Entah apa yang ada di pikiran bapak muda yang menggendong anak kecil itu. Saya mengumpat dalam hati namun menjawab sopan.

“oh bukan pak, saya tamu”. Bapak itu tampak salah tingkah dan berlalu. 

Saya memeriksa ulang dandanan saya sekilas mata. Kemeja batik, celana jeans hitam, dan sepatu kulit. Saya pikir saya tidak salah kostum. Sempat menyusup tanya dalam hati, apa yang salah dengan hari kelahiran, tahi lalat di atas sudut mata kiri, rambut ikal susah ditata, dan hidung pesek yang melekat di diri ini sehingga orang sering salah kira?!. Saya tak terlalu memusingkannya, sudah terbiasa. Mata kembali menatap layar.
Pembawa acara meminta hadirin untuk tenang melalui mikrofon. Selanjutnya dia berbisik ke orang di sebelahnya memeriksa kelengkapan pernikahan. Tampak di layar, kamera menyorot Oom Pam yang ekor matanya menyapu ke kiri dan ke kanan, ciri khasnya bila berada pada situasi di mana dia tak tahu harus berbuat bagaimana. Ritual pernikahan pun dimulai dengan sedikit kutipan dalil-dalil agama yang dibawakan oleh pembawa acara, dilanjut pembacaan surat Al fatihah. Oom Pam tertunduk bersila dengan dada dibuat tegap, membaca Ummul Kitab dengan hidung yang membegar. Kini penghulu membimbing Oom Pam membaca Istighfar. Mikrofon disodorkan kepadanya, Oom pam memegang sendiri mikrofonnya. Suaranya terdengar sedikit gemetar saat membacakannya. Suasananya benar-benar sacral seperti memang seharusnya prosesi nikah dilaksanakan. Saya sempat melihat mata Oom Pam berkabut dan bersemu magenta dengan mulut melantunkan istighfar yang semakin meninggi bergetar, dia melanjutkan bacaan istighfar dengan menjauhkan mikrofon.
Proses akad nikah dilaksanakan dengan sangat cepat. Oom Pam menjawab dengan satu tarikan nafas dan jabat tangan yang sangat mantab. Kontan semua yang hadir menjawab “Sah!”, saya bertepuk tangan kecil. Kami semua yang datang berdoa dipimpin penghulu. Si dokter gigi datang bergaun putih sepadan dengan kostum yang dikenakan Oom Pam. Setelahnya, semua yang di layar tampak seperti tayangan Infotainmen. Oom Pam menyerahkan mahar pada istrinya. Istrinya mencium tangan Oom Pam. Mereka saling memakaikan cincin di jari manis pasangannya. Pembawa acara meminta mereka memamerkan cincin tersebut untuk difoto. Hari itu Oom Pam bak Ibas Yudhoyono dalam badan yang lebih tambun.
Kedua mempelai berfoto dengan orang tua dan keluarga dekat. Lalu, raja dan ratu sehari itu digiring menuju pelaminan. Layar datar disimpan, kursi-kursi ditata ulang. Sebelum para tamu dipersilahkan memberi selamat kepada pengantin, pembawa cara mengumumkan kepada hadirin untuk berkumpul di depan pelaminan. Diterangkan bahwa wali nikah hendak berbagi kebahagiaan dan rejeki. Saya lupa nama persisnya, semacam adat membagi-bagikan pecahan uang dengan cara dilemparkan untuk diperebutkan hadirin. Pembawa acara menerangkan bahwa si dokter gigi adalah anak bungsu dari wali nikah dan semua kakak-kakaknya sudah dinikahkan. Adat melempar uang berarti menutup acara-acara pernikahan yang dilangsungkan oleh wali nikah, harapannya wali nikah tidak akan menikahkan anaknya lagi. Maksud tersirat dari adat itu adalah semua cinta anak-anaknya abadi sampai maut menjemput. Kata amin pasti terselip dalam sanubari setiap hadirin, mengakhiri pengantar dari pembawa acara.
Uang dalam pinggan bercampur kelopak-kelopak bunga di lemparkan. Suasana riuh rendah oleh suara-suara teriakan bahagia. Hadirin seolah menjadi anak-anak kembali. Saya tak kebagian, namun tetap saja acara ini menyenangkan. Tuntas sudah tanggung jawab orang tua. Oom Pam memikul tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi anak tuan rumah begitu dia mengikrarkan akad. Saya yakin dia tahu konsekuensi dan tanggung jawabnya. Dia menawarkan diri untuk menerima  tanggung jawab membimbing si anak bungsu. Dia sadar sepenuhnya dirinya juga bungsu, tapi jangan anggap remeh bungsu satu ini. Dia kebapakan, adik-adik kelas satu jurusannya memanggil dia Pak’e. Bila ada kegiatan yang mengharuskan memasak sendri, mereka menunggu Pak’e memegang muntu. Mereka bilang sambal buatannya nomor satu, mana saya tahu. Kami lebih sering makan pedas di warung.
Makan pedas kemudian merokok sudah menjadi kelakuan berdua. Walaupun, saat terakhir ke jogja dia mengaku tidak kecanduan lagi pada kedua hal itu. Dia bahkan menyarankan saya menjauhi keduanya demi kesehatan dubur saya. Semua teman kami tahu, kami punya wasir. Saya, terlebih Oom pam memang gampang mengumbar cerita. Hanya hal-hal yang benar-benar menjadi cita-citanya saja yang tidak dia umbar. Dia sering berceritera banyak hal pada saya. Untuk kelakuannya tak perlu dia ceritakan, saya sedikit hafal polahnya. Oom Pam gampang untuk segera lelap, dan dia benci dengan mamalia peliharaan. Suatu saat dia tertidur di kamar saya beberapa saat setelah kami berdiskusi, saya yang keluar untuk ke kamar kecil mendapatinya sudah pulas sehingga saya tidur saja di tempat yang tersisa. Oom Pam terlelap di posisi biasanya saya tidur. Pagi harinya, Oom Pam berteriak-teriak membangunkan saya. Rupanya kucing saya mencium-ciumnya meminta makan. Tahu rasa dia.
Soal kucing saya pikir akan menjadi sedikit pasir di antara dia dan si dokter gigi. Sejak kepulangannya dari kunjungan pertama menyambangi si dokter gigi tiga tahun lalu, Oom Pam sudah bercerita tentang kucing-kucing si dokter gigi. Seminggu menjelang pernikahannya, saya menawarkan untuk mengadopsi kucing-kucing itu. Mereka berdua tidak keberatan, tetapi Oom Pam mempertanyakan siapa yang akan menjaga bila saya masuk hutan. Saya berpikir ulang dan tidak meneruskan pembicaraan. Saat saya memberi selamat pada Oom Pam dan istrinya di pelaminan hari itu, saya tak melihat ada kucing yang didandani.
Resepsi pernikahan Oom Pam sangat sederhana namun hangat. Makanan yang disediakan, enak dan tidak berlebihan, kebanyakan makanan tradisional. Sebagai pengiring, ada organ tunggal dan penyanyi seksi berpakaian sopan. Hadirin bebas saja duduk dan bercengkrama. Saat kami di sana, tak banyak tamu undangan. Kemudian hari saya tahu bahwa waktu setelah akad memang dikhususkan untuk kawan-kawan mempelai berdua. Cara yang sangat tepat untuk merayakan pernikahan. 
Semoga sampeyan tidak berfikir yang di sebelah Pengantin Pria adalah Tukang Foto, Karena foto ini tidak diambil dengan bantuan tripod
*) Tulisan ini lama bercokol di Komputer jinjing saya, diperbarui terus menerus sambil berharap menjadi sempurna. Sampai akhirnya saya tak bisa lagi mendefinisikan kesempurnaan kebahagiaan Oom Pam. Selamat berbahagia Oom Pam

Tidak ada komentar: