Laman

02 Desember 2010

"Gus, dadio wong kang becik" (Resensi Novel Botchan, karya Natsume Soseki)


Saya teringat pada budhe saya. Budhe orang yang cerewet dan kata Ibu saya kalau ngomong sukur mletek. Budhe sering diminta menjadi pengasuh pada keluarga-keluarga berada. Pengalamannya mengasuh anak lebih panjang daripada curriculum vitae Ketua Komnas PA sekali pun. Budhe mempunyai 3 orang anak kandung dan banyak sekali anak tiri. Anak-anak tirinya sangat menghormati dan sayang kepada budhe saya selayaknyaemakmereka sendiri. Demikian dengan anak-anak majikan yang diasuhnya. Semuanya manut dan menghormati budhe saya. Sosok budhe saya yang seorang pengasuh kolot saya tangkap pada tokoh Kiyo dalam novel Botchan karya Natsume Soseki.
Botchan seperti uraian Alan Turney dalam pengantar cetakan bahasa Inggris tahun 1971 berarti tuan muda. Panggilan Botchan lebih merujuk pada panggilan sayang seorang pengasuh kepada anak majikannya. Ada rasa kedekatan dan kasih sayang dalam pengucapannya (pengenalan, hal-7). Bila Alan Turney kesulitan memadu-madankan dengan kata yang cocok untuk bahasa Inggris, saya dengan mudah menemukan banyak padanan dalam budaya Indonesia walau saya tidak tahu-menahu soal bahasa Jepang. Bocthan bisa saja dipadankan sebagai panggilan “Aden” yang biasa diucapkan abdi dari suku sunda. Botchan juga punya padanan dengan panggilanSinyountuk anak saudagar Cina. Tapi bagi saya Botchan lebih pas disamakan dengan panggilangus” yang biasa diserukan budhe saya yang orang Jember.
Gus berarti sama dengan mas, namun tidak untuk sembarang orang. Biasanya yang menyandang panggilan gus adalah anak kiai/ulama-strata paling dihormati dalam tradisi Jember dan Jawa Timur. Panggilan gus biasanya diikuti dengan nama panggilan yang lebih terkesan manja dan dekat. Anak kiai yang bernama lengkap Abdullah akan dipanggil Gus Aab, Yusuf akan dipanggil Gus Yus, atau Saiful akan dipanggil Gus Ipung. Panggilan gus juga bukan monopoli anak kiai. Persis seperti panggilan Botchan budhe saya juga memanggil setiap anak majikan yang diasuhnya dengan gus. Seperti Kiyo yang sampai tidak menjadi pelayan sekali pun tetap memanggil tokoh protagonist dalam novel dengan panggilan Botchan.
Tokoh Kiyo merupakan tokoh sentral yang mendukung watak tokoh utama. Dukungan Kiyo terhadap watak tidak hanya seperti dukungan pemeran pembantu terhadap pemeran utama. Dalam kehidupan nyata dapat ditafsirkan Kiyo lah yang memantapkan watak si protagonist. Kiyo dengan sayang mendampingi dan menyemangati si protagonist. Si protagonist yang bagi masyarakat sekitar dianggap bengal ,tak berguna dan merasa dibuang oleh lingkungan terdekat dibuat percaya bahwa jauh di dalam dirinya dia adalah orang baik. Kiyo memuji si protagonist “kau selalu berterus terang, kau orang baiklalu si protagonist menimpali dengan ketus bahwa dirinya tak suka pujian. Secara ajaib Kiyo akan menjawab “Nah kan, kau memang punya sifat yang baik”. Oleh tokoh protagonist kita, pujian dan dorongan semangat dari Kiyo secara implisit diakui mempengaruhi sifatnya sampai akhir novel.
Membaca novel Botchan serasa membaca jurnal kehidupan si protagonist. Tulisan dimulai dengan cerita masa kecil si protagonist. Cerita tentang keadaan keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, kakak dan sang pengasuh Kiyo. Cerita tentang masa kecilnya yang bengal dan selalu ingin menunjukkan bahwa dia pria yang pemberani. Cerita-cerita tentang masa kecilnya ditulis sebagai tempo waktu yang lampau. Tempo waktu dirasa berubah saat si protagonist mulai mengajar di hari pertama di sekolah menengah kota pantai terpencil jauh dari Tokyo tempat dia dibesarkan.
Cerita ditulis dari sudut pandang orang pertama tentang kehidupan seorang guru muda di perantauan. Dari sudut pandang si protagonist lah kita bisa menebak wataknya. Cerita dibuat lugas melulu dari sudut pandang orang pertama tanpa direcoki dengan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan langsung dengan tokoh kita. Watak tokoh antagonis sekali pun hanya bisa diraba dari sudut pandang subyektif tokoh protagonist. Bisa jadi kita akan menganggap tokoh-tokoh antagonis sebagai penjahat yang sama sekali tidak bisa berbuat baik, selayaknya sinetron kejar tayang. Namun, secara lugas pula ditangkap bahwa tokoh kita pun kebingungan menilai watak semua tokoh yang berhubungan dengannya.
Di tengah kebingungannya tokoh kita merasakan kerinduan terhadap sosok Kiyo yang penyayang. Watak tokoh tetap tak berubah sebagai orang yang ceroboh dan selalu berterus terang. Di lain pihak watak seperti ini lah yang menjadi inti cerita, watak yang membuat kita sebagai pembaca menilai si protagonist sebagi tokoh yang terpuji. Seperti bab pengenalan yang menerangkan bahwa novel ini merupakan novel satir, saya menilai novel ini banyak mengkritik nilai-nilai yang ada di masyarakat. Novel ini mengkritik persaingan yang ada di lingkungan kerja, juga mengkritik cara pandang masyarakat yang menilai orang dari kulit luar dan kekayaan semata. Novel ini mengakhiri cerita dengan membuat ganjalan yang ada dalam pikiran tokoh utama terlepaskan. Akhir novel seperti ini lah yang membuatnya menjadi happy ending tanpa berlebihan. Tokoh kita tetap kehilangan pekerjaan dan kehidupan lingkungan yang membuat dia tersingkir tetap berjalan tanpa terpengaruh ketidak hadiran si tokoh.
Novel ini juga merekam dengan jelas kehidupan Jepang pasca restorasi meiji, bagaimana masyarakat Jepang sangat terpengaruh akan hal-hal yang berbau barat. Tokoh kita berpakaian secara eropa dengan pantaloon dan jas, rekan kerjanya mengaitkan ikan goruki dan Gorki si penulis Rusia, dan bagaimana masyarakat kota kecil menjuluki gadis tercantik sebagai Madonna. Jepang di masa transisi juga terlihat dari sisa kejayaan feodal yang terjungkal. Kehidupan keluarga samurai yang setiap hari hanya makan ubi manis dan melantunkan sair-sair dari sandiwara tradisional Jepang menggambarkan tradisi feodal yang terjungkal. Pun bagaimana Kiyo tetap memanggil tokoh utama dengan Botchan.
Saya terhanyut dalam suasana seperti menonton serial Oshin saat membaca novel Botchan. Jepang yang dihubungkan kereta api dengan orang berpakaian kimono masih banyak ditemukan, bahkan kendaraan umum hanya kereta kuda dan ricksaw. Pujian juga patut diberikan pada tim yang bekerja untuk edisi bahasa Indonesia. Alan Turney yang menerjemahkan ke dalam bahsa Inggris saja kebingungan menjelaskan setiap guyonan kata-kata bahasa Jepang, apa lagi bila kita harus mengalih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Kalau saya ditunjuk sebagai pengalih bahasa saya akan kebingungan seperti saya kebingungan menceritakan kembali kata-kata Miss Amber-dosen Bahasa Inggris saya ke dalam bahasa pribadi saya. Namun, Indah S.P. dengan cerdik menguraikannya sehingga kita tetap bisa tersenyum hanyut dalam guyonannya. Tengoklah, bagaimana ikan goruki dirasakan oleh rekan tokoh kita sebagai Gorki, dan dengan acuhnya tokoh kita menyamakan dengan fotografer Maruki kemudian kaki. Pemilihan kata kaki saya rasa hanya ada dalam edisi Indonesia agar kita bisa ikut larut dalam guyonan penulis.
Daya tarik Novel ini pada pandangan pertama adalah ilustrasi sampulnya yang berupa gambar 9 panel terdiri dari 3 baris dan 3 lajur. Saya langsung tertarik untuk membeli sebelum teman saya membujuk bahwa dia bisa meminjamkan dari temannya. Ilustrasi sampulnya memang tidak berkaitan langsung dengan cerita dan tokoh-tokoh yang ada. Namun, jauh sebelum membacanya saya dapat menangkap bahwa tokoh kita merupakan orang yang cuek akan pandapat orang lain namun jauh di dalamnya merupakan orang yang sangat peduli. Pendapat itu bisa saya benarkan setelah habis membaca novel ini. Ilustrasi sampulnya sangat menggambarkan nuansa dan suasa yag ada di dalam cerita.
Setelah selesai membaca 218 halaman termasuk pengenalan dan riwayat penulis saya mendapat pesan yang disampaikan secara satir. Pesan yang oleh budhe saya akan diucapkan secara lugas. “Gus, dadio wong kang becik

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan yang bagus. Terima kasih sudah berbagi. Saya mahasiswa Program studi Jepang yang kebetulan sedang dapat tugas mempelajari sastra modern Jepang. Membaca tulisan anda, saya semakin terinspirasi untuk menjadikan novel Natsume Soseki ini sebagai topik yang saya angkat. Jika berkenan, nama anda siapa dan latar belakang anda apa? Karena saya ingin menggunakan tulisan anda sebagai bahan rujukan. Terima kasih :)

Real sukmana Fu mengatakan...

wah, saya tersanjung,..terimakasih banyak. walaupun menjadi rujukan akdemis membuat saya berkomentar "tak pantas tulisan saya jadi rujukan"..senang berkenalan, kalau mau, boleh berkirim email di real_sukmana_fu@yahoo.com