Laman

05 Januari 2011

Real dan Perjalan Kereta Ekonomi (bagian I, Jember-Bangil)

kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
dari tempatku bersandar seiring lantun kereta

membawaku melintasi tempat-tempat yang indah

membuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna

.........
(Padi,Perjalanan Ini)


Saya selalu suka dengan lagu tersebut, lagu yang menjadi semacam Soundtrack Theme-lagu tema-setiap saya melakukan perjalan beramai-ramai dengan teman-teman saya. Seringnya, saya melakukan perjalanan beramai-ramai dengan menggunakan kereta api sebagai moda transportasi. Kalau tidak beramai-ramai mana mau saya naik kereta api. Bisa mati terpanggang lah saya di dalamnya. Terakhir kali saya lakukan perjalan beramai-ramai adalah saat harus kembali ke Jogja setelah menghabiskan waktu lebaran tahun 2010 masehi di Jember. Saya menumpang kereta api Logawa jurusan Jember-Purwokerto.

Kereta api Logawa selalu beroperasi di siang hari. Berangkat tepat setelah adzan subuh dari stasiun Jember dan akan tiba di Lempuyangan sesaat sebelum maghrib. Saat bulan Ramadhan berada di dalamnya serasa siksaan. Di kala perut lapar berpuasa kita diterpa rasa panas terik dan digoda oleh para pedagang asongan yang menawarkan beraneka makanan dari kudapan sampai sarapan. Saya sering menghindari naik kereta api saat ramadhan. Tetapi di sinilah menariknya menumpang kerata kelas ekonomi. Kereta yang selalu berjalan relatif lambat dan melulu mengalah bila kereta dengan kelas lebih tinggi melintas di jalurnya. bagaimana pun, saya selalu merasa ada kenyamanan tanpa padanan tiap kali menumpang kereta api.
Nyaman saat mendapat tempat duduk dan bisa bercakap-cakap dengan penumpang lainnya. Nyaman karena kaki bisa selonjor. Nyaman saat pantat kebas terlalu lama duduk, karena gerbong kereta adalah lorong panjang untuk pejalan kaki. Nyaman saat mulut terasa asam minta diisi asap, karena gerbong kereta adalah tempat yang luas dan liberal ditambah angin kencang dari jendela yang bolong dilempar massa saat kerusuhan sepak bola. Nyaman saat berdiri di bordes dan membiarkan angin menerpa wajah, menjadikan diri sebagai petualang tanpa beban. Nyaman saat perut keroncongan, karena kereta kelas ekonomi adalah sebuah pasaraya dengan barang dagangan menghampiri kita. Nyaman saat iseng menyerang dan kita mengamati setiap detil kehidupan yang ada di dalam gerbong.
Kehidupan di dalam kereta api sangat komplek dan menarik untuk diamati. Bagi saya ini sebuah ekosistem temporer. Komponen yang ada di dalamnya dari manusia, hewan (mulai ayam sampai kucing hutan), rangkaian kereta dan stasiun yang disinggahi, sampai mitos yang menyelimuti setiap kepulan asap dieselnya. Saya mencoba mengamati semua itu. Berikut apa yang saya amati sepanjang rel dari Jember sampai Jogja
JEMBER SAMPAI BANGIL
Jam 4.30 pagi tidaklah terlalu pagi bagi masyarakat Jember. Siswa kelas 3 SD sudah siap untuk berangkat sekolah dan menghadapi hari yang melelahkan dengan pelajaran dan les tambahan. Pasar Tanjung dengan Water Dam di tengahnya sudah bergeliat sejak 2 jam sebelumnya. Loper koran sudah berkumpul untuk menunggu Jawa Pos melemparkan beritanya. Hanya pegawai Pemda yang meringkuk dari dinginnya angin Argopuro. Jadi, jangan sampai kaget jika stasiun sudah ramai oleh para penumpang, pengantar, sampai tukang parkir. Rangkaian gerbong sudah penuh setelah 4.45 diisi oleh penumpang yang hampir sebagian besar turun di Surabaya.
Perlahan kereta berangkat tepat pukul 5.00 membunyikan klakson yang bagi santri Darussalam (tempat saya mondok dulu) pertanda pengajian tafsir JalalAin dimulai tanpa kata pembuka faslun. Perlahan para pedagang asongan berjalan menjajakan minuman bermerek MIZONE yang dilafalkan MISON. Pelafalan mison menunjukkan dari suku Madura lah si pedagang berasal. Jember tepat di pusat daerah tapal kuda yang diisi perantau dari pulau Madura dan Jawa Timur bagian barat. Posisi geografis ini menyebabkan Jember menjadi titik tengah Pandhalungan (kuali besar) tempat segalanya menjadi lebur dan menciptakan budaya baru. Bahasa orang Jember menjadi khas sebagai bahasa Jawa dengan logat kasar dan penambahan kosakata bahasa Madura dengan dialek Jawa.
Kereta berhenti sejenak di stasiuan Rambipuji, stasiun yang juga menjadi terminal pengangkutan peti kemas. Di sebelah stasiun Rambi (begitu orang Jember menyebutnya) terdapat menara 3 lantai sisa bangunan Belanda entah apa fungsinya. Menara ini dapat kita lihat di pertigaan depan kantor polisi. Selanjutnya kereta akan berhenti di stasiun Bangsalsari (orang Jember hanya menyebut Bangsal). Sepanjang perjalan dari Rambipuji ke Bangsal kita sesekali akan menemui gudang semi permanen setinggi 6-8 meter beratap daun tebu tempat mengasapi tembakau. Jember adalah kota tembakau, dengan varietas unggulan "Naost" yang konon katanya menjadi primadona di pasar tembakau di Bremen, Jerman. Setelah kembali bergerak dari stasiun Bangsal kereta akan berhenti di stasiun Tanggul. Stasiun ini setiap bulan Agustus akan ramai oleh para peserta gerak jalan tradisional TAJEMTRA (Tanggul-Jember Tradisional). PT Kereta Api dan Pemda Jember akan meluangkan sedikit anggarannya untuk menyediakan angkutan gratis dari Jember sampai Tanggul bagi peserta gerak jalan untuk memeriahkan kemerdekaan Indonesia ini. Di stasiun ini anda bisa mencoba jeruk Semboro yang berwarna hijau tapi berasa manis.
Kereta pun bergerak menuju stasiun Jatiroto. Sepanjang jalan anda akan melihat kanal selebar 6 meter yang menjadi urat nadi perkebunan dan pabrik gula. Pembangunan kanal kemungkinan dilakukan saat politik etis mulai berlaku di Hindia Belanda. Kanal ini dibangun untuk irigasi sebagai salah satu pilar politik etis. Walaupun fungsi kanal ini pada masanya lebih banyak untuk perkebunan tebu Belanda yang dicaplok dari pribumi. Pembangunan kanal ini menjadi penunjuk tabiat orang beanda dalam ketelitian membuat dalih. Sedemikan telitinya sehingga orang Belanda dapat memadukan politik etis dan bisnis gula. Kini kanal ini terbukti berjasa besar bagi pertanian masyarakat setelah kita merdeka dan Belanda dapat berdalih telah membalas sebagian budi leluhur kita. Kita akan melihat sedemikian hebatnya orang Belanda dalam irigasi dari dam yang membagi aliran air menuju saluran yang lebih kecil. Kita juga akan melihat rel-rel Lori pengangkut tebu tanpa bisa melihat seperti apakah lokomotif Lori itu. Bila kita sudah sampai di stasiun Jatiroto di kompleks Pabrik gula berarti kita sudah meninggalkan Kabupaten Jember.
Selanjutnya menuju Klakah. Di sini para pedagang asongannya sangat khas. Di stasiun ini segala hal dijual dalam bentuk aslinya. Kita akan menemukan nangka yang belum dikupas dijajakan, pisang dalam setiap sisirnya, dan menemukan pedagang mengasong hewan. Ini adalah suatu kebenaran jika menemukan satwa di jual di kereta. Dari burung Emprit sampai Burung Hantu, bila beruntung kita bisa membeli kucing hutan (Felix bengalensis). Penjual akan menawarkannya sebagai macan, maklumlah bahasa lokal kucing hutan adalah macan remrem. Klakah dan Jatiroto berada di dalam otoritas Kabupaten Lumajang. tanpa pernah menemukan stasiun Lumajang kereta bergerak menuju stasiun Leces.
Di samping stasiun ini dapat ditemui pabrik kertas yang katanya terbesar se-ASEAN di jamannya. Konon, saat peresmian seluruh jalan di depannya yang merupakan jalan antar kota ditutup untuk menyambut sang Bapak Pembangunan. Kini, dari mata telanjang kita hanya melihat pabrik kertas Leces sebagai pabrik yang mati segan hidup tak akan pernah mau. Kita akan melihat patung burung hantu lambang pabrik tampak lusuh, ditemani gerbong barang yang teronggok menunggu rusak. Sementara kita menerawang seperti apa kertas buatan pabrik ini kereta segera tiba di stasiun Probolinggo.
Di stasiun probolinggo yang terik oleh cuaca jam 7.30 pagi, rawon pincuk daun pisang adalah pilihan yang tepat sebagai sarapan. Bagi saya rawon di sini enak. Sambil berusaha makan tanpa menumpahkan kuah saat kereta merangkak lagi, kita akan melihat perahu nelayan khas pandhalungan di setiap sungai selebar lebih dari 6 meter. Perahu khas dengan warna hijau, merah, biru dengan lunas berbentuk lancip. Di sebelah kanan kereta, dapat dilihat pemandangan laut dengan ombak yang tenang. Sayang, pemandangan lautnya bukanlah pemandangan seperti yang ada di lukisan-lukisan. Hanya hamparan biru dengan titik hitam perahu nelayan di balik rimbun kejauhan pohon-pahon mangga.
Kita telah meninggalkan Probolinggo si kota anggur, mangga, dan angin (Bayuangga) saat tiba di stasiun Pasuruan. Kota tempat pahlawan orang madura Sakera (yang kostumnya menjadi seragam resmi tukang sate) konon memberontak penjajah Belanda. Kereta pun melaju menuju stasiun Bangil. Di stasiun ini terdapat percabangan rel. Di sini penumpang yang akan menuju kota Malang dapat turun untuk mengganti kereta. Di sini kita dapat mendengar pengamen membawa kontra bass berukuran besar, bongo, cak dan cuk, dan gitar akustik menyanyikan lagu yang jauh lebih enak di dengar daripada pengamen di dalam bus. Ada pula seorang pedagang asongan yang menjadi penciri stasiun ini. Sedemikian khasnya sampai mahasiswa Jember yang kuliah di Malang, Surabaya, dan Jogja hapal dengan intonasi hiperbolis yang dilafalkannya. Si pedagang akan menjajakan anggur dengan berteriak "Anggure-anggure UUUUIRREEENG", menjajakan bakso tanpa kuah dengan "Pentole-pentole Chaose PUUEDDDEEESS". Teman saya suka membeli bakso tersebut dan dimakan bersama Pop Mie yang dijajakan asongan lain. Teman saya suka membeli dengan alasan "Kasihan kalau tidak beli, soalnya sering kita omongin"
bersambung....

1 komentar:

Unknown mengatakan...

ehm, anda masih berhutang satu perjalanan pada saya bung..