Saya pernah punya “mitra kejahatan”. Kita berdua bisa dikatakan para pemimpi idealis opurtunis. Pertama kali bertemu saat pembekalan OSPEK, perkenalan yang begitu saja. Saya ingat menggunakan kata ganti orang kedua “sampeyan” dan panggilan “mas” walaupun kita seangkatan. Saya memang lebih nyaman memanggil dengan sebutan yang tampak tak akrab tersebut kepada orang yang baru kenal. Dari perkenalan itu saya tahu dia berasal dari belahan pulau yang sama dengan saya. Selang beberapa waktu setelah tidak berhubungan, saya bertemu dia lagi. Terang saja, kita satu fakultas dengan 75 % mata kuliah sama. Pertemuan selanjutnya saya tidak lagi memanggil “sampeyan, mas” tapi sudah menjadi “awakmu” atau “koen”. Kita sebut saja dia si Batang.
Suatu saat dia menukar mimpinya kepada saya. Belakangan dia mengaku hanya menukar mimpi kepada orang-orang tertentu. Jadi saya lah “yang terpilih”. Dia mengajak pacarnya si Bunga, si Ranting, si Akar dan seorang teman lagi untuk mewujudkan hal aneh untuk mahasiswa tingkat awal. Merintis sebuah LSM. Hanya mahasiswa gila yang mau membuat LSM di semester-semester awal. Untungnya, dia mengajak orang yang tepat. Orang yang akan mengamini pertama kali semua ajakan, yaitu saya.
Misi pertama kita adalah merintis pemberdayaan masyarakat di sebuah tempat di sela-sela Gunung Merapi dan Merbabu, namanya Selo. Persiapan-persiapan dilakukan, tapi saat berangkat saya tak ikut. Saya harus menyanyi untuk kegiatan kesenian Patrol di UII. Hasilnya cukup menggembirakan semua pihak. Teman-teman yang berangkat ke Selo dapat pengalaman manis dan teman-teman asrama mendapat pengalaman berharga lainnya. “Jangan pernah menggunakan suara si Cacing”. Kelanjutan kisahnya, tak ada tidak lanjut untuk pemberdayaan di Selo dan tak pernah lagi saya menjadi vokalis Patrol. Walaupun begitu, saya tetap main patrol dan saya kembali diajak melakukan kegiatan serupa tapi tak sama oleh si Akar.
Kegiatan yang dimaksud yaitu penelitian estuaria di Purworejo. Dia juga mengajak Si Ranting, seorang teman yang saya sebut si Larva kupu-kupu dan beberapa teman lain. Selain saya, anggota kelompok penelitian ini orang-orang cerdas. Kembali kita harus menginap di rumah penduduk. Kegiatan ini juga gagal. Penelitian kami tak sampai tujuan. Maka, kami menjuluki diri kami “team zero”. Yang menarik, sebulan setelah penelitian itu kami seangkatan sefakultas melakukan kuliah lapangan. Salah satu obyek studinya adalah lahan mangrove yang sudah kami pelajari di penelitian estuaria. Tentu kami lebih unggul soal mangrove daripada teman seangkatan yang lain.
Si Larva kupu-kupu mengajak saya berpolitik praktis di kampus. Yang tergabung dalam kelompok ini saya, si Larva kupu-kupu, si Ranting, si Batang, teman-teman yang saya sebut si Daun, si Tenggoret, si Kepik, si Owa dan si Bekantan mentawai. Si Akar tidak diajak karena dianggap berafiliasi dengan salah satu kelompok calon lawan kami. Misi kali ini adalah membuat satu pilihan ketua LEM yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang didominasi 2 pergerakan mahasiwa besar. Calon kami yaitu si Ranting. Saya menolak kalau calon kami si Ranting. Alasan saya “si ranting susah ditebak, orang bilang kalau seandainya kita semua diajak makan bareng, dia yang akan menolak pertama kali”. Saya pikir dai orang yang susah diatur, saya tahu karena ahampir semua praktikum saya lakukan bersamanya. Itu pendapat saya, pendapat pribadi tanpa sentimen pribadi. Tapi penolakan saya hanya sekedar itu saja. Toh si Ranting juga akhirnya saya setujui maju menjadi calon. Misi yang lagi-lagi gagal. Calon yang kita usung kalah TKO.
Setelah mengalami misi yang kembali gagal. Si Batang menukar lagi mimpinya dengan saya. Mimpinya kali ini membuat sekolah lingkungan. Lagi-lagi mimpi gila dan lagi-lagi saya bilang “iya”. Dia sebutkan alasannya kali ini “kalau si Ranting orang yang pertama kali menolak kalau diajak makan, maka koen orang yang pertama kali bilang ayo”. Kali ini saya balas mimpinya dengan bilang “mimpimu kejauhan, tapi bisa dikejar. Kita butuh 40 tahun lagi bikin mimpi kita terwujud”. Dasar wataknya keras, si Batang balas menjawab “kalau kita tunda besok pagi, jadinya mimpi itu terwujud 40 tahun plus 1 hari lagi”. Jadilah maka jadi. Kita berdua mulai merancang langkah-langkah mewujudkan mimpi ini. Pertama-tama, kita harus mengumpulkan uang. Caranya, membuat penelitian. Selain dapat uang kita juga mendapat pengalaman. Proposal demi proposal kita buat dan hasilnya nihil.
Dari hasil nihil ini, kita berdua sepakat untuk memperbanyak orang yang kita tukari mimpi. Si Batang mulai memilah pilih orang. Pilihannya jatuh ke si Ranting, si Akar, si Daun, dua orang adik kelas kami yang saya sebut si Cabang, dan si Dahan, dan tentu saja pacarnya si Bunga. Belakangan, tambah satu teman lagi si Tanah. Jadilah, kami pohon yang utuh dan subur. Banyak kegiatan yang kita lakukan. Kelompok kita mulai dikenal oleh teman-teman kampus. Kali ini boleh saya bilang kelompok yang hidup, dengan segala rontok-semi yang menghampiri. Sudah 3 tahun kelompok ini berdiri, kita masih merajut sulur-sulur asa.
Di sela kegiatan rontok-semi kelompok itu, saya bertualang di beberapa tempat lain. Humus yang lain, kelembaban yang lain, dan mikrobiologi yang berbeda. Si batang pernah melompat dari satu proyek ke proyek lain, magang bersama si Kepik mengorek batu bara,. Saya pernah menjadi ketua organisasi primordial, mengalami kerugian setelah menyelenggarakan suatu acara, menjadi staff kepengurusan himpunan mahasiswa, ke luar pulau untuk magang, dan bersama si Batang dan si Tenggoret mengais pengalaman di sebuah LSM. Nanti, apa yang mau saya lakukan?.
Semua kegiatan yang saya lakukan di atas hanya mempunyai satu alasan. Saya butuh memperpanjang CV saya sepanjang mungkin. Nanti setelah saya lulus saya bisa bekerja di tempat yang saya suka. Saya ingin bekerja dengan tenggat waktu, bukan duduk mengetik berkas di belakang meja. Pekerjaan yang akan selalu menambah wawasan saya. Pekerjaan yang bisa saya sertai dengan kegiatan-kegiatan untuk memperpendek jarak saya dengan mimpi saya. Tapi itu nanti.
Saya ingin menunjukkan tanpa kata ke orang yang membuat saya kurus waktu saya dulu kena panah cupid kalau panah cupid itu masih menancap. Tapi itu nanti. Saya ingin bekerja di konsultan. Pergi ke hutan-hutan, melihat segala kantong semar dan anggrek, segala monyet dan beruang, digigit lintah dan tersangkut onak rotan, juga membaca buku sejarah di bawah pohon dekat pondok survey. Tapi itu nanti. Saat tidak sedang bertugas saya bisa menggambar sketsa lingkungan di sekitar saya, menulis blog yang akan saya susun dengan si Tenggoret, Si Kepik, Si Batang, Si Ranting, dan semua teman kampus saya. Tapi itu nanti. Selanjutnya dari tabungan gaji konsultan saya akan buat koperasi. Koperasi tempat petani bisa langsung menetapkan harganya tanpa dipengaruhi siapa pun termasuk saya sebagai pendiri. Koperasi dimana pembeli bisa tahu siapa penghasil barang yang mereka beli. Koperasi yang hasil usahanya bisa dimakan bersama tanpa berebutan. Tapi itu nanti.
Kalau tidak bisa bekerja di konsultan saya akan bekerja di HPH atau HTI. Tapi itu Nanti. Kalau tidak bisa bekerja di HTI dan HPH saya akan bekerja di LSM lokal lalu LSM inetrnasional. Tapi itu nanti. Kalau tidak bisa bekerja di LSM baik internasional maupun lokal, saya akan menjadi peneliti partikelir. Tapi itu nanti. Kalau tidak jadi peneliti partikelir saya akan menggadaikan ijazah saya dan membuka usaha dagang. Saya akan menjual kaos bertema, cendera mata bertema, dan segala hal lainnya. Tapi itu nanti. Kalau saya tidak bisa berdagang, saya akan menjual jasa promosi wisata. Wisata apa pun, wisata alam, wisata religi, wisata pendidikan, wisata budaya, asal bukan wisata lendir. Tapi itu nanti.
Setelah cukup pengalaman dan uang saya akan memanggil seorang teman saya satu kampus dan satu keresidenan. Dia juga ingin berwiraswasta. Saya akan ajak dia membuat usaha dibidang energi alternative. Saya akan belajar merubah minyak dari buah-buahan menjadi bensin. Disejajarkan dengan Watt dan Edison dari revolusi industri, Gates dari revolusi TI. Saya punya revolusi sendiri, revolusi hijau. Tapi itu nanti. Menjual listrik di luar jawa dan membuka jalur kerta api di Sulawesi . Tapi itu nanti. Saya mau membantu Bapak dan Ibu saya menyelesaikan semua rukun islamnya. Tapi itu nanti. Saya mau kaya sehingga saya bisa membayar zakat. Saya bisa berinfaq untuk pembangunan perpustakaan yang sangat lengkap atau bisa menyumbang untuk pembangunan pusat budaya dan gedung pertunjukan. Tapi itu nanti. Saya ingin mewakafkan tanah dan bersedekah untuk pembangunan sebuah sekolah lingkungan. Tapi itu nanti.
Penulis laris bilang kita harus menaruh mimpi setinggi-tingginya. Si Batang bilang “aku koq yakin, teman-teman (si Batang, si Tanah, si Akar, si Ranting, si Cabang, si Dahan, si Daun, si Bunga, dan saya) akan menjadi orang sukses”. Teman saya bilang “koen jangan mimpi terlalu tinggi, nanti koen mimpi terus ga bangun-bangun”. Sementara semua teman yang saya sebutkan sudah menapaki mimpi masing-masing dan sudah terbangun dari mimpi-mimpinya. Si Batang di perbatasan serawak-kalimantan, si Tenggoret dan si Kepik di Ambon, si Akar di Palembang, si Larva Kupu-kupu di makasar, si Owa di manokwari, semua menjadi pamong. Si Tanah bekerja di HPH, si Ranting di konsultan internasional, si Daun tak perlu pusing soal apa yang harus dikerjakannya. Teman saya satu keresidenan bekerja di HTI, dan semua teman lainnya sudah menapaki mimpinya.
Saya masih mengigau. Saya tidur ayam di ranjang nadir. Berpikir keras bagaimana bisa bangun, bisa keluar dari sel ini. Nyaris menyerah dihimpit tembok-tembok yang tak habisnya saya garuk dengan sendok makan. Sementara semua ilmu yang saya dapat, sedikit demi sedikit menguap oleh waktu. Saya sudah menaruh mimpi-mimpi itu di bawah asbak yang penuh abu rokok yang membuat saya sinus. Pintu yang saya hadapi cuma kegagalan tanpa surat tamat. Saya bahkan tak tahu apa yang akan saya kerjakan dan dunia luas apa yang ada di balik sel ini. Saya berharap tidak lewat pintu itu. Saya masih sesekali mengorek tembok-tembok itu karena terkadang ada saja orang yang memberi saya sendok.
23.00, 13 januari 20011- 01.25,14 januari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar