Saya baru sadar bahwa saya terlalu banyak mengumbar soal si kaktus. Si kaktus muncul di hampir 1/4 isi blog saya, dalam berbagai sisi dan alter egonya tentu saja. Saya benar-benar sadar, bahwa saya terlalu mengumbar kegetiran saya soal si kaktus di dunia nyata saat teman saya menelepon. Teman saya itu menelepon untuk memberi saya selamat karena saya sudah "didadar".
Laiknya teman yang terpisah 2 zona waktu, berbagai nama selat dan 2 nama laut, kami berbicara tentang banyak hal. Saling mengejek layaknya bocah, sindir sana-sini seperti pembaca berita, dan akhirnya mengomentari saya sebagai objek layaknya sebuah fenomena. Mulanya si teman menggoda dandanan rapi saya saat "didadar"yang mereka lihat di jejaring sosial. Kemudian berlanjut dengan ledekan soal teman saya satu lagi yang menyesal tak melihat saya berpakaian rapi saat dia masih berkuliah dengan saya 2 tahun lalu, sehingga tak pernah bisa jatuh hati. Intinya, ledekan yang lumayan umum bagi siswa-siswi SMP. Selanjutnya pertanyaan soal status hubungan saya yang tercantum di jejaring sosial tersebut.
Di sinilah ujung-pangkal kesadaran saya soal si kaktus. Si teman bertanya pada saya mengenai kebenaran status hubungan tersebut, jawabannya setengah benar. Saya bilang, tentu saja saya tidak lagi berselibat walau status tersebut bisa jadi cara saya membuat kebohongan publik. Teman saya langsung menimpali dengan menyebut nama spesies si kaktus. Entah teman saya tahu nama genus si katus atau tidak, yang jelas nama si kaktus binomial seperti nama botani. Saya langsung sadar bahwa dulu saya banyak mulut membicarakan si kaktus.
Dulu saya sering bercerita soal si kaktus dengan teman saya. Mari kita sebut si teman dengan si tenggoret, saya si cacing, dan saya akan bercerita dengan kiasan fabel.
Si tenggoret hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat si cacing keluar dari tanah di sore hari hanya untuk mendengarkan desau angin. Si cacing hanya peduli pada angin yang bertiup dari gurun. Angin yang sampai ke tanah lembab diantara pohon-pohon itu. Si cacing hanya ingin tahu apakah angin membawa rerontok duri kaktus. Sampai akhirnya si tenggoret mencibir.
"sudahlah cac, kamu hanya akan hidup di tengah angin, sedangkan kodratmu di tanah" kata si tenggoret kepada cacing.
Cibiran si tenggoret ditimpali si batang "hei mahluk tak berkaki, kamu harus cari tanaman hias lain"
Si cacing menjawab "aku sedang tidak ingin dan butuh tanaman hias"
"Karena kamu masih membiarkan Naphentes menginang pada tiap seresah yang kamu kunyah?" kata si tenggoret.
"bukan soal itu, aku hanya tak mau mengumbar humusku, aku lelah" timpal si cacing.
"kalau begitu, kenapa tidak kamu gigit akar Naphentes agar humusmu tak terbuang" cecar si batang.
"andai aku bisa" kata si cacing
"karena kamu tidak mau" ejek si batang
"begini, soal si kaktus tidak ada hubungannya dengan pertanaman hias" bela si cacing
"kamu harus membawa humusmu ke gurun, membiarkan akar kecilnya tahu" si batang abai dengan kata-kata si cacing.
"kamu akan terus sakit, bila setiap hari membiarkan duri keringnya terus menancap" kata si tenggoret.
"itu hanya duri kering yang rapuh" si cacing membela diri.
"seresah lapuk, itu omong kosong" kata si batang dan si tenggoret mengamini.
Bagi si cacing kala itu, duri yang tertiup angin tidak akan membuatnya terluka. Si cacing tidak pernah sadar bahwa dia adalah masochist untuk deduri si kaktus. Baginya tertusuk duri adalah jalan sejati. Baginya tiap tusukan duri adalah sebenar-benarnya kenikmatan bila berkaitan dengan si kaktus. Baginya menerbangkan lempung dari tiap kunyahannya adalah hal yang harus dilakukan dalam jalannya.
Deduri si kaktus mulai menancap lagi semenjak angin baru dari barat laut berhembus melewati laut, gunung, rimba, gurun, stepa, dan sabana. Dalam angin itu si cacing bernostalgia dengan keringnya gurun tanpa pernah sekali pun sebelumnya dia berharap menangkap duri si kaktus. Malam sebelum dia tahu angin itu membawa duri kaktus, si cacing bermimpi dia bergelung di antara akar lembut kaktus. Mimpi yang membuatnya sadar ada di dalam kulitnya ujung duri kaktus yang dulu membuatnya mengeliat-geliat kendati jauh di dalam tanah. Ujung duri itu tak pernah bisa ia cerna sebagai segala seresah. Si kaktus pun membaui anyir si cacing dalam angin barat laut yang berpusar.
Si cacing tahu bahwa jalannya hanya membiarkan deduri kaktus menancap dan menabur lempung humusnya terbawa angin. Lain tidak. Sampai dia tahu ada manis dalam tiap seresah bunga yang dia cecap. Ada keceriaan dalam tiap trubus daun dari humusnya. Ada senja dalam tiap mekar bunga si Kaktus di mana burung kolibri menghirup sarinya.
Burung kolibri yang datang tiap hari bahkan saat si katus membiarkan ular derik meringkuk berlindung dari teriknya hari di bawah kaktus. Burung kolibri yang menyerbuk bunga kaktus menjadi buah serupa naga kendati kaktus bersandar pada bangau kertas pembawa salju dari seberang lautan teduh. Kolibri yang tak pernah tampak berharap kulit tebal kaktus mencairkan lapisan lilin di dalamnya seperti si cacing.
Si cacing sadar bahwa senja itu indah. Si cacing tahu bahwa saat terik hari pemangsa hanya butuh berteduh. Si cacing yang paham bahwa wajar dalam terik hari bangau kertas bersalju sangat menyejukkan. Si cacing pun paham tak semua tanaman butuh tanah lembab dan tak semua berbunga dalam keteduhan kaya humus. Humus pun tak selalu tampak dalam tiap kunyahan seresahnya. Tak semua akar menyerap lembabnya humus kunyahan seresahnya. Si cacing sadar lendirnya butuh daun gugur dan ada akar tanaman yang membutuhkan humus kunyahannya.
Kini si cacing hanya mendengar desau angin saat dia muncul ke permukaan saja. Si cacing melepaskan akar Naphentes yang membelitnya. Selanjutnya, Si cacing membiarkan dirinya bergelung di bawah akar anggrek tanah yang mencecap humusnya. Anggrek tanah yang membiarkan daun dan bunga rontoknya dikunyah.
Gambar dicopy tanpa ijin dari www.kuranvebilim.com (saya mengaku bersalah)
(ditulis di sela peringatan hari si kaktus diberkati pertama kali di alam fana) Tabik untuk Si Kaktus.
Si tenggoret hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat si cacing keluar dari tanah di sore hari hanya untuk mendengarkan desau angin. Si cacing hanya peduli pada angin yang bertiup dari gurun. Angin yang sampai ke tanah lembab diantara pohon-pohon itu. Si cacing hanya ingin tahu apakah angin membawa rerontok duri kaktus. Sampai akhirnya si tenggoret mencibir.
"sudahlah cac, kamu hanya akan hidup di tengah angin, sedangkan kodratmu di tanah" kata si tenggoret kepada cacing.
Cibiran si tenggoret ditimpali si batang "hei mahluk tak berkaki, kamu harus cari tanaman hias lain"
Si cacing menjawab "aku sedang tidak ingin dan butuh tanaman hias"
"Karena kamu masih membiarkan Naphentes menginang pada tiap seresah yang kamu kunyah?" kata si tenggoret.
"bukan soal itu, aku hanya tak mau mengumbar humusku, aku lelah" timpal si cacing.
"kalau begitu, kenapa tidak kamu gigit akar Naphentes agar humusmu tak terbuang" cecar si batang.
"andai aku bisa" kata si cacing
"karena kamu tidak mau" ejek si batang
"begini, soal si kaktus tidak ada hubungannya dengan pertanaman hias" bela si cacing
"kamu harus membawa humusmu ke gurun, membiarkan akar kecilnya tahu" si batang abai dengan kata-kata si cacing.
"kamu akan terus sakit, bila setiap hari membiarkan duri keringnya terus menancap" kata si tenggoret.
"itu hanya duri kering yang rapuh" si cacing membela diri.
"seresah lapuk, itu omong kosong" kata si batang dan si tenggoret mengamini.
Bagi si cacing kala itu, duri yang tertiup angin tidak akan membuatnya terluka. Si cacing tidak pernah sadar bahwa dia adalah masochist untuk deduri si kaktus. Baginya tertusuk duri adalah jalan sejati. Baginya tiap tusukan duri adalah sebenar-benarnya kenikmatan bila berkaitan dengan si kaktus. Baginya menerbangkan lempung dari tiap kunyahannya adalah hal yang harus dilakukan dalam jalannya.
Deduri si kaktus mulai menancap lagi semenjak angin baru dari barat laut berhembus melewati laut, gunung, rimba, gurun, stepa, dan sabana. Dalam angin itu si cacing bernostalgia dengan keringnya gurun tanpa pernah sekali pun sebelumnya dia berharap menangkap duri si kaktus. Malam sebelum dia tahu angin itu membawa duri kaktus, si cacing bermimpi dia bergelung di antara akar lembut kaktus. Mimpi yang membuatnya sadar ada di dalam kulitnya ujung duri kaktus yang dulu membuatnya mengeliat-geliat kendati jauh di dalam tanah. Ujung duri itu tak pernah bisa ia cerna sebagai segala seresah. Si kaktus pun membaui anyir si cacing dalam angin barat laut yang berpusar.
Si cacing tahu bahwa jalannya hanya membiarkan deduri kaktus menancap dan menabur lempung humusnya terbawa angin. Lain tidak. Sampai dia tahu ada manis dalam tiap seresah bunga yang dia cecap. Ada keceriaan dalam tiap trubus daun dari humusnya. Ada senja dalam tiap mekar bunga si Kaktus di mana burung kolibri menghirup sarinya.
Burung kolibri yang datang tiap hari bahkan saat si katus membiarkan ular derik meringkuk berlindung dari teriknya hari di bawah kaktus. Burung kolibri yang menyerbuk bunga kaktus menjadi buah serupa naga kendati kaktus bersandar pada bangau kertas pembawa salju dari seberang lautan teduh. Kolibri yang tak pernah tampak berharap kulit tebal kaktus mencairkan lapisan lilin di dalamnya seperti si cacing.
Si cacing sadar bahwa senja itu indah. Si cacing tahu bahwa saat terik hari pemangsa hanya butuh berteduh. Si cacing yang paham bahwa wajar dalam terik hari bangau kertas bersalju sangat menyejukkan. Si cacing pun paham tak semua tanaman butuh tanah lembab dan tak semua berbunga dalam keteduhan kaya humus. Humus pun tak selalu tampak dalam tiap kunyahan seresahnya. Tak semua akar menyerap lembabnya humus kunyahan seresahnya. Si cacing sadar lendirnya butuh daun gugur dan ada akar tanaman yang membutuhkan humus kunyahannya.
Kini si cacing hanya mendengar desau angin saat dia muncul ke permukaan saja. Si cacing melepaskan akar Naphentes yang membelitnya. Selanjutnya, Si cacing membiarkan dirinya bergelung di bawah akar anggrek tanah yang mencecap humusnya. Anggrek tanah yang membiarkan daun dan bunga rontoknya dikunyah.
Gambar dicopy tanpa ijin dari www.kuranvebilim.com (saya mengaku bersalah)
(ditulis di sela peringatan hari si kaktus diberkati pertama kali di alam fana) Tabik untuk Si Kaktus.
4 komentar:
cacing, kaktus, ular derik, bangau kertas pembawa salju, burung kolibri... kenapa kok cuma kaktus yang tanaman hayoh? statis de kesannya :D
mm, by the way, tulisanmu (yang fabel sekali) ini so sweet sekali al. seems, I'm quite familiar with this story. nice :)
hahay,..
err,..by the way, you miss naphentes dan anggrek tanah,...
not that static, huh?
o, jadi semacam representatifnya gender niy ya...
lebih tepat karakter dari pada gender...:)
Posting Komentar