Laman

02 Desember 2012

Terbang ke Kalimantan.



Terdengar pemberitahuan dari pengeras suara bandara Adi Sutjipto bagi penumpang Batavia Air jurusan Pontianak saat saya tengah sibuk menjejalkan 3 kotak bakpia ke dalam tas punggung tanpa gagang resleting. Saya melongok jam tangan yang menampakkan angka 10, lumayan tepat waktu untuk penerbangan berjadual 9.10 mengingat jam tangan saya masih mengikuti WITA. Selain karena alasan tak tahu cara mengatur ulang jam tersebut, saya masih percaya waktu Indonesia akan menjadi satu kesatuan. Saya dengarkan seksama lagi pemberitahuan dari pengeras suara. Saya duduk tepat di lajur menuju gerbang 1 dan lajur tersebut sepi antrian. Ternyata para penumpang harus melewati gerbang 3, tak seperti yang tertera di boarding pass.
Dengan sedikit pertimbangan gaya ala petualang dan lebih banyak pertimbangan sinar matahari siang yang menyilaukan, saya mengambil kacamata hitam pinjaman dan memakainya. Di dalam pesawat saya lihat tempat duduk saya ditempati anak kecil yang ingin duduk dekat jendela.  Saya fokuskan urusan saya pada tas berat di pundak. Bagasi di atas kursi saya sudah penuh. Pramugari menyarankan saya menaruh di bagasi yang lain, saya patuhi. Kembali ke baris kursi saya, saya bertanya pada pramugari letak tempat duduk saya dengan suara yang sengaja saya keraskan. Pramugari menunjuk kursi disamping jendela. Saya tegur adik kecil di sebelah, dengan menyapukan pandangan pada ibunya yang duduk di sampingnya. “Permisi adik, itu tempat duduk kakak” dan sang ibu cepat-cepat menyuruh anaknya berpindah tempat duduk, muka ibunya masam. Saya duduk dengan tenang membaca novel sehalaman.
Pesawat tak juga beranjak dari tempatnya diparkir, pantas, saya pikir karena bandara ini harus melayani penerbangan sipil dan militer. Pesawat mulai bergerak, saya menengok ke jendela di sebelah kanan  saya. Tahun lalu saat saya berangkat dengan tujuan sama saya melihat dari sisi jendela yang sama, beberapa pesawat latih Angkatan Udara berbaris mengantri menggunakan landasan. Saat pesawat sudah mengudara dan tak nampak lagi permukaan bumi saya lelap dan tak hirau dengan sekeliling, termasuk pembagian air kemasan gelas oleh para pramugari.
Saya terbangun beberapa saat sebelum daratan Kalimantan tampak di bawah pesawat. Sesungai yang mengular dan air kecoklatan menciri pulau besar itu. Semakin mendekat ke daratan tampak jalur-jalur lurus saling memotong membentuk persegi panjang menunjukkan hutan sudah dialih fungsi. Saya tebak dari jalur berwarna cokelat muda pertanda jalur tersebut adalah jalan tanah, pastilah itu lahan sawit. Sedang yang berwarna lebih gelap pertanda kanal-kanal. Saya tebak lahan hutan tersebut tetap bernama hutan dengan tambahan kata tanaman industri. “Cih, apa beda” batin saya dalam hati, dua-duanya seragam dan tanpa mamalia pencari buah manis. Sekedar di situ saja perang batin saya, kalah oleh kesadaran bahwa saya tak pernah meneliti kedaua lahan tersebut.
Pesawat mendarat dengan gaya hentak ke belakang saya rasakan. Dari jendela saya melongok mencari-cari pesawat tempur mungil bercat loreng, tak tampak sama sekali. Saya mengira sedang berpatroli atau malah sedang berpangkalan di Riau. Ini pangkalan terdekat dengan tetangga di utara saya yakin mereka siap melesat bila tetangga congkak di utara mulai bertingkah dan semoga tak ada satu pun yang bertingkah, doa saya.
Bandara Supadio masih seperti setahun lalu saya tiba. Bandara ini masih akan diperbesar terminalnya. Saya lihat poster besar memagari bangunan tambahan yang sedang dikerjakan kontraktor BUMN. Saya masuk terminal setelah turun dari bus bandara. Saya menuju toilet, dan urinoir terlalu pendek untuk saya. Puas berhajat, saya menuju ban berjalan bagasi, tak nampak selain orang berkerumun sepanjang 10 meter. Ban berjalan untuk bagasi berujung pada besi miring dan pendek jalurnya. Berbeda dengan bandara yang lebih besar, ban berjalan kembali masuk ke dalam sehingga tak ada bagasi menumpuk di ujung. Troli untuk mengangkut barang tak satu pun saya jumpai tak terpakai. Kebanyakan dipakai oleh porter resmi bandara. Saya terpaksa pontang-panting mencari ke luar. Beruntung saya memberanikan diri meminta pada seorang pria yang duduk di sebuah troli. Tak tertib gumam dalam batin saya. Hampir semua bandara yang saya singgahi selalu mempunyai kondisi yang sama.
Setelah saya mengambil bagasi dan keluar, saya harus sering melambaikan tangan menolak tawaran sopir taksi. Seandainya ada petugas yang mengatur sopir-sopir taksi itu, seorang saja yang memang dibayar untuk mengatur taksi dan mendapat kepercayaan penuh pasti semua nyaman.Setengah tahun lalu saya ke Berau, Kalimantan Timur. Tak ada taksi sedan di sana, hanya angkot. Kita bisa mencarter seharga Rp. 50.000,- untuk sampai ke kota atau menumpang bersama-sama dengan harga yang lebih murah. Angkot-angkot berbaris tertib, setiap penumpang yang datang tinggal berbaris masuk angkot. Kurangnya hanya petugas tak berseragam tersebut selalu dikerubuti sopir yang tak sabar. Dugaan saya, petugas tersebut anggota paguyuban sopir angkot. Seandainya, sekali lagi seandainya semua bersabar, percaya penuh pada petugas, atau petugas tersebut merupakan orang yang sangat disegani seperti TNI jaman orde baru.
Di Pontianak, karena alasan kepercayaan saya memilih angkutan berpelat hitam yang sudah sering disewa oleh teman-teman saya. Setahun lalu teman-teman saya sempat tertahan karena preman bandara melarang mobil pelat hitam beroperasi di bandara. Bah, di bandara ada preman pula. Entah preman yang bersikap sok atau angkutan berpelat hitam memang seharusnya dilarang beroperasi. Kali ini saat ditanya orang “mau kemane, bang?” selalu saya jawab “ke rumah saudara, dijemput”. Untungnya saya sudah mencirikan diri saya lewat telepon. Saya langsung disambut dengan salaman Pak Awi, supir angkutan tersebut. Pak Awi tanya dengan logat melayu “kemane nih, mas?” saya jawab “ke jalan Mahakam dulu pak, ada urusan beli sling traktor”. Mobil pun melaju dengan obrolan hangat.
Saya biarkan AC pada posisi fan dengan jendela terbuka agar udara mobil yang terpanggang keluar. Panas betul kota khatulistiwa ini, menyengat. Saya turunkan kacamata hitam saya menutupi mata. Tak salah saya pinjam ini kaca mata.

*foto diambil oleh Umi Latifah, Setahun lalu..

Tidak ada komentar: