Terdengar
pemberitahuan dari pengeras suara bandara Adi Sutjipto bagi penumpang Batavia Air jurusan Pontianak saat saya
tengah sibuk menjejalkan 3 kotak bakpia ke dalam tas punggung tanpa gagang
resleting. Saya melongok jam tangan yang menampakkan angka 10, lumayan tepat
waktu untuk penerbangan berjadual 9.10 mengingat jam tangan saya masih
mengikuti WITA. Selain karena alasan tak tahu cara mengatur ulang jam tersebut,
saya masih percaya waktu Indonesia akan menjadi satu kesatuan. Saya dengarkan
seksama lagi pemberitahuan dari pengeras suara. Saya duduk tepat di lajur
menuju gerbang 1 dan lajur tersebut sepi antrian. Ternyata para penumpang harus
melewati gerbang 3, tak seperti yang tertera di boarding pass.
Dengan sedikit
pertimbangan gaya ala petualang dan lebih banyak pertimbangan sinar matahari
siang yang menyilaukan, saya mengambil kacamata hitam pinjaman dan memakainya. Di
dalam pesawat saya lihat tempat duduk saya ditempati anak kecil yang ingin
duduk dekat jendela. Saya fokuskan
urusan saya pada tas berat di pundak. Bagasi di atas kursi saya sudah penuh.
Pramugari menyarankan saya menaruh di bagasi yang lain, saya patuhi. Kembali ke
baris kursi saya, saya bertanya pada pramugari letak tempat duduk saya dengan
suara yang sengaja saya keraskan. Pramugari menunjuk kursi disamping jendela.
Saya tegur adik kecil di sebelah, dengan menyapukan pandangan pada ibunya yang
duduk di sampingnya. “Permisi adik, itu tempat duduk kakak” dan sang ibu
cepat-cepat menyuruh anaknya berpindah tempat duduk, muka ibunya masam. Saya
duduk dengan tenang membaca novel sehalaman.
Pesawat tak juga
beranjak dari tempatnya diparkir, pantas, saya pikir karena bandara ini harus
melayani penerbangan sipil dan militer. Pesawat mulai bergerak, saya menengok
ke jendela di sebelah kanan saya. Tahun
lalu saat saya berangkat dengan tujuan sama saya melihat dari sisi jendela yang
sama, beberapa pesawat latih Angkatan Udara berbaris mengantri menggunakan
landasan. Saat pesawat sudah mengudara dan tak nampak lagi permukaan bumi saya
lelap dan tak hirau dengan sekeliling, termasuk pembagian air kemasan gelas
oleh para pramugari.
Saya terbangun
beberapa saat sebelum daratan Kalimantan tampak di bawah pesawat. Sesungai yang
mengular dan air kecoklatan menciri pulau besar itu. Semakin mendekat ke
daratan tampak jalur-jalur lurus saling memotong membentuk persegi panjang
menunjukkan hutan sudah dialih fungsi. Saya tebak dari jalur berwarna cokelat
muda pertanda jalur tersebut adalah jalan tanah, pastilah itu lahan sawit.
Sedang yang berwarna lebih gelap pertanda kanal-kanal. Saya tebak lahan hutan
tersebut tetap bernama hutan dengan tambahan kata tanaman industri. “Cih, apa
beda” batin saya dalam hati, dua-duanya seragam dan tanpa mamalia pencari buah
manis. Sekedar di situ saja perang batin saya, kalah oleh kesadaran bahwa saya
tak pernah meneliti kedaua lahan tersebut.
Pesawat mendarat
dengan gaya hentak ke belakang saya rasakan. Dari jendela saya melongok
mencari-cari pesawat tempur mungil bercat loreng, tak tampak sama sekali. Saya
mengira sedang berpatroli atau malah sedang berpangkalan di Riau. Ini pangkalan
terdekat dengan tetangga di utara saya yakin mereka siap melesat bila tetangga
congkak di utara mulai bertingkah dan semoga tak ada satu pun yang bertingkah,
doa saya.
Bandara Supadio
masih seperti setahun lalu saya tiba. Bandara ini masih akan diperbesar
terminalnya. Saya lihat poster besar memagari bangunan tambahan yang sedang
dikerjakan kontraktor BUMN. Saya masuk terminal setelah turun dari bus bandara.
Saya menuju toilet, dan urinoir terlalu pendek untuk saya. Puas berhajat, saya
menuju ban berjalan bagasi, tak nampak selain orang berkerumun sepanjang 10
meter. Ban berjalan untuk bagasi berujung pada besi miring dan pendek jalurnya.
Berbeda dengan bandara yang lebih besar, ban berjalan kembali masuk ke dalam
sehingga tak ada bagasi menumpuk di ujung. Troli untuk mengangkut barang tak
satu pun saya jumpai tak terpakai. Kebanyakan dipakai oleh porter resmi
bandara. Saya terpaksa pontang-panting mencari ke luar. Beruntung saya memberanikan
diri meminta pada seorang pria yang duduk di sebuah troli. Tak tertib gumam
dalam batin saya. Hampir semua bandara yang saya singgahi selalu mempunyai
kondisi yang sama.
Setelah saya
mengambil bagasi dan keluar, saya harus sering melambaikan tangan menolak
tawaran sopir taksi. Seandainya ada petugas yang mengatur sopir-sopir taksi
itu, seorang saja yang memang dibayar untuk mengatur taksi dan mendapat
kepercayaan penuh pasti semua nyaman.Setengah tahun lalu saya ke Berau, Kalimantan
Timur. Tak ada taksi sedan di sana, hanya angkot. Kita bisa mencarter seharga
Rp. 50.000,- untuk sampai ke kota atau menumpang bersama-sama dengan harga yang
lebih murah. Angkot-angkot berbaris tertib, setiap penumpang yang datang
tinggal berbaris masuk angkot. Kurangnya hanya petugas tak berseragam tersebut
selalu dikerubuti sopir yang tak sabar. Dugaan saya, petugas tersebut anggota
paguyuban sopir angkot. Seandainya, sekali lagi seandainya semua bersabar,
percaya penuh pada petugas, atau petugas tersebut merupakan orang yang sangat
disegani seperti TNI jaman orde baru.
Di Pontianak,
karena alasan kepercayaan saya memilih angkutan berpelat hitam yang sudah
sering disewa oleh teman-teman saya. Setahun lalu teman-teman saya sempat
tertahan karena preman bandara melarang mobil pelat hitam beroperasi di
bandara. Bah, di bandara ada preman pula. Entah preman yang bersikap sok atau
angkutan berpelat hitam memang seharusnya dilarang beroperasi. Kali ini saat
ditanya orang “mau kemane, bang?” selalu saya jawab “ke rumah saudara,
dijemput”. Untungnya saya sudah mencirikan diri saya lewat telepon. Saya
langsung disambut dengan salaman Pak Awi, supir angkutan tersebut. Pak Awi
tanya dengan logat melayu “kemane nih, mas?” saya jawab “ke jalan Mahakam dulu
pak, ada urusan beli sling traktor”. Mobil pun melaju dengan obrolan hangat.
Saya biarkan AC
pada posisi fan dengan jendela
terbuka agar udara mobil yang terpanggang keluar. Panas betul kota khatulistiwa
ini, menyengat. Saya turunkan kacamata hitam saya menutupi mata. Tak salah saya
pinjam ini kaca mata.
*foto diambil oleh Umi Latifah, Setahun lalu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar