Laman

24 Desember 2012

Nawak Sawal



Saya pernah punya kawan sekamar lebih dari 3 tahun berbagi ruang tidur. Tiga tahun tentu menjadi cerita berawalan meski entah kapan berakhir. Bagaimana pun saya menganggap pertemuan selalu kebetulan. Kebetulan yang letterlijk milik Yang Maha Betul. Sebulan setelah saya masuk SMA, saya dititipkan untuk diajari mengaji sebuah ma’had (sejujurnya saya malu mengaku anak ma’had, karena kelakuan saya saat ini). Semua teman sekelas saya tahu kalau saya dipondokkan oleh orang tua saya. Salah satunya  Anjar-kali ini nama asli. Dia bilang ada teman sekampungnya yang mondok di tempat yang sama dengan saya. Ditanyalah saya, kenalkah saya dengan si Dian lalu cepat-cepat dia menambahkan “mungkin dipanggil Syamsi”. Saya jawab, mungkin saya pernah dengar. Maklum saja saya masih baru.
Mungkin Anjar juga mengajukan pertanyaan yang sama pada Dian, mungkin juga tempat saya bersekolah adalah identitas saya. Saya masih ingat bagaimana saya dan Dian bertemu, sebuah pertemuan yang aneh saperti penciri kita berdua. Saya selalu tertawa kalau mengingat dia dan pertemuan kami.

Di tempat saya tinggal selama SMA itu, dulu kamar mandi yang ada adalah kamar mandi berpancuran tanpa sekat walau sengaja digelapkan. Saat saya sibuk mandi di antara banyak “batangan” yang sedang mandi, saya disapa oleh siluet gelap di sebelah saya.
“Kamu SMA 2, ya?” dan saya pun menoleh .
“Kenal Anjar?” lanjut siluet setinggi saya itu.
Saya cepat tanggap “Kamu Syamsi ya?” dan dia mengiyakan.
Saya lupa apakah saya berbasa-basi atau tidak dengannya, selupa bagaimana kami kemudian bergaul dekat dan memanggil dia Dian, nama panggilan yang lebih familiar di ma’had dan lingkaran keluarganya.

Selang setahun, saya berpindah kamar dengannya karena alasan teman sekamarnya semua seangkatan saya dan saya yakin lebih nyaman sekamar dengan sebaya. Beberapa kali saya diajak ke rumah Dian, menginap juga. Sebuah keluarga yang harmonis, teratur, sederhana dalam arti kata wajar, dan hangat. Saling bertandang ke rumah sudah adat pertemanan. Ribut berhantam kadang juga tertawa bersama tentu bumbu pertemanan. Saling berbagi nasi kiriman orang tua dengan teman sema’had, semua kegiatan komunal kami lakukan. Sampai watak masing-masing orang sedikit banyak kami paham.

Saya dikenal sebagai penidur, di manapun saya hidup. Suatu saat di tengah malam, setelah Dian selesai mencuci baju dia menemukan saya mengigau. Dian kaget, menyahut igauan saya dan kemudian sadar kalau saya hanya mengigau. Tabiat saya, bila igauan saya disahuti maka saya akan terbangun. Seketika bangun, saya ingat kalau jemuran saya belum diangkat lalu berjalanlah saya ke jemuran di lantai tiga bangunan lain. Dian masih menganggap saya mengigau. Dia memanggil-manggil nama saya, saya malas menghiraukan karena berkonsentrasi pada kesadaran saya. Sampai saya di bawah jemuran, Dian masih memanggil nama saya dan menjelaskan ke tetangga kamar yang bangun dan turut memandangi saya. Saya akhirnya merasa tak baik membuat orang khawatir dan saya berteriak “Hei tenang saja, aku sudah bangun”. Kemudian orang-orang bubar.

Kenangan lainnya adalah saat saya bercanda dengan Dian. Saya lupa sebabnya, tapi sepertinya dia hendak memukul saya. Saya berlari dan terjatuh. Malang karena punggung saya menabrak pecahan kaca runcing. Saya ternganga, ‘matilah’ pikir saya. Saya cabut pecahan kaca itu, untungnya tidak menancap dalam. Sampai saat ini bila saya meraba punggung, saya masih bisa merasakan tonjolan bekas luka itu.

Sering saya hendak berhantam dengannya dan lebih sering kami saling merajuk dan mendiamkan. Hormon remaja memang selalu mengegelegak. Ada saja sebab pertengkaran kami. Saya merasa kami seperti anak kecil yang selalu berdebat soal Superman dan Batman. Saya sempat merasa tidak ada kecocokan di antara kami. Sayangnya, perasaan itu sempat menyusup ke alam bawah sadar sehingga menciptakan persaingan akan segala hal di antara kami.

Tibalah menjelang kelulusan SMA. Saya dan Dian mencoba peruntungan di tes masuk UGM. Kami berbeda rombongan, mengikuti SMA kami masing-masing. Pilihan kami pun berbeda saat itu. Saya mantab masuk kehutanan. Dari tiga pilihan, dua pilihan saya ambil jurusan di fakultas kehutanan. Hasilnya saya diterima pilihan pertama. Dian kurang beruntung di percobaan pertama, mungkin bukan jalan hidupnya. Saya merasa jumawa saat itu dan Dian merasa terpacu dengan nasib saya. Dian mencoba peruntungan lagi dengan mengikuti seleksi nasional. Kali ini dia diterima di jurusan yang sama persis dengan saya.

Sejak tes masuk, saya sudah mengenal asrama mahasiswa daerah. Saya lebih dulu tinggal di sana, karena pendaftaran ulang bagi mahasiswa yang lolos tes masuk lebih duluan dari pada yang lolos seleksi nasional. Dian menyusul tinggal di asrama. Kami pun berbagi ruang tidur lagi. Saya juga pada awal-awalnya menumpang lemari pakaian dian. Sampai keluar dari asrama, saya masih tidak memiliki lemari sendiri. Hampir setiap hari saya menumpang motor Dian. Satu semester kemudian, saya berpisah kamar dengan Dian tapi masih sering keluar bersama

Masalah beradu mulut, masih sering kami lakukan bahkan untuk urusan yang sepele. Sebaliknya, sering kami harus berganti baju berkali-kali karena begitu keluar dari kamar masing-masing ternyata baju yang kami pakai senada. Kalau bukan moti bajunya yang sama, maka warnanya sama, kalau bukan bajunya berwarna sama maka celananya berwarna sama. Bahkan sering ternyata baju saya  sewarna dengan celan dian dan baju dian sewarna dengan celana saya. Malam ini saat dian menyambangi saya di mess tamu, Dian ternyata memakia baju yang sama persis dengan saya. Ini lah yang menjadi bahan olok-olokan teman-teman seangkatan saya di asrama. Ada yang mengejek bahwa dian sebenarnya soul mate saya, saya hanya mencibir.

Kehidupan komunal yang kental di asrama selalu riuh rendah. Ejekan sana-sini sudah menjadi gurauan sehari-hari yang tidak boleh diambil hati. Saya pun sering keterlaluan. Kebiasaan di asrama adalah saling memanasi soal perempuan. Dian yang cepat panas, mudah saja termakan. Ada seorang teman wanita sefakultas saya yang ditaksirnya. Gayung tak bersambut, tapi Dian tak merasa. Di samping itu dia juga menebar kail ke banyak wanita dan memboncengkan banyak teman wanita. Saya anggap sekedar untuk membungkam omongan orang. Bumerang dilemparkan, sejak itu Dian dianggap gila perempuan. Saya sebal dengan kebebalannya. Buat apa panas karena omongan orang, pikir saya. Maka saya dan dua teman sebaya kami di asrama membawa setiap wanita yang dia dekati untuk membuat dia semakin panas. Puncaknya, saya membawa teman sefakultas saya itu. Merah muka si Dian, dia cepat-cepat pergi keluar entah kemana.

Suasana asrama membuat Dian, memilih sibuk dengan urusan di kampus. Dia pun kemudian bergabung dengan perkumpulan di masjid. Karena alasan pribadi, semester ketiga dia memilih keluar dari asrama. Dia mengajak saya sebagai solidaritas, Dian tahu saya juga sedang tak kerasan. Namun saya menolak karena menganggap itu lah hubungan komunal toh keluar asrama berarti biaya tambahan untuk kos yang artinya menaambah beban orang tua, maka saya harus bertahan. Dian mulai berlabel anak masjid. Saya berprasangka karena asmaranya tak disambut teman sefakultas saya itu, Dian hidup seperti membiara. Tapi saya juga mantab menyatakan, jalan hidayahNya selalu punya cara sendiri.

Sejak keluar dari asrama, saya tidak sering bersinggungan dengan Dian. Dian aktif di banyak organisasi kampus, saya sibuk berwacana dengan banyak orang di samping lebih memilih organisasi di luar wilayah struktural kampus. Hasilnya, Dian lebih focus kuliah dan cepat lulus. Saya menyusul di tahun ke tujuh, dua setengah tahun lebih lama dari Dian. Setelah lulus, dia langsung bekerja di sebuah perusahaan hutan alam di jantung Kalimantan.

Setahun kemudian dia menikah. Saya diundang untuk hadir tapi saya benar-benar tidak bisa datang karena ada pekerjaan sampingan, saat itu saya juga masih berstatus mahasiswa aktif. Saat acara resepsi pernikahan diadakan di rumahnya pun, Bapak Ibu saya tidak bisa datang. Setelah saya lulus dan kemudian bergabung dengan lembaga penelitian di Kampus, tugas pertama saya adalah membantu peneliti Jepang di tempat Dian bekerja. Saya diterima Dian di Mess keluarganya, saat itu istrinya sedang pulang ke Jawa menunggu hari-hari melahirkan. Anaknya lahir selang 3 minggu saya di sana.

Kini saya berkunjung lagi ke perusahaan Dian. Kali ini sendiri dan banyak berhubungan dengan divisi kerja Dian. Dari sejak di Jawa saya sudah mengontaknya. Sesampai di sana saya menjumpai Dian menggendong anaknya yang berumur setahun lebih. Dian menunjuk saya pada  anaknya dan menyebut saya Oom. Kacau hati melihat anak teman dekat diajari memanggil Oom kepada saya. Teringat umur dan tuntutan cucu orang tua saya. Seminggu di sini saya banyak dibantu Dian menunaikan penelitian saya. Ternyata sempat sekali kita tak sengaja memakai baju yang sama. Baju kaos yang bergambar identitas jurusan kami. Kami diolok sebagai anak yayasan. Saya dan Dian tertawa menanggapi olokan itu.

Dian dan anaknya yang diajari memanggil saya oom
Malam ini saya mengerjakan peta penelitian saya dengannya. Selesai pekerjaan, kami ngobrol dengan bahasa daerah. Saya mulai dengan pertanyaan “bagaimana rasanya menikah?”. Dian menjelaskan panjang lebar soal bagaimana kini hidupnya teratur, uang gajinya lebih terkelola, dan lebih mempunyai tujuan hidup semenjak punya momongan. Saya pancing dia soal kisah pertemuan dengan istrinya. Dian bilang dari ta’aruf. Dian bercerita soal dasar dari perkawinan adalah cinta. Bagi saya yang berfaham ‘alah bisa karena biasa’ sulit menangkap bagaimana orang yang mendapatkan jodoh lewat ta’aruf, lebih mementingkan kewajiban menikah daripada dengan siapa menikah, dan tidak berpacaran bisa mencinta sejak awal niatan.
Saya tanya dengan nada sengit “memang bisa, jatuh cinta karena ta’aruf. Bukannya butuh proses?”
Dian menjawab sederhana “Serahkan semua pada Yang Maha punya Cinta”. Saya mengamini.
“Cong!” Katanya “bukan persiapan seperti pacaran yang dibutuhkan, akan tetapi kesiapan mental”.

Dia menambahkan soal bagaimana menjelang menikah dia tidak memiliki uang tunai yang cukup. Bagaimana jalan selalu terbuka bagi hamba yang hendak menunaikan kewajiban. Bagaimana semua seperti sudah diatur oleh sang Pencipta. Bagaimana dia berdao siang malam, menabung untuk persaipan, disamping juga menyisihkan rejeki sekedar membuat seang orang tua. Inti percakapan yang saya tangkap adalah ‘buktikan pada Sang Maha Kaya, kalau kamu sudah mampu menikah!”.

Obrolan kami menambah pemahaman baru bagi saya. Saya sudahi percakapan kami dengan menyindir “sudah malam, cong. Kamu kan harus ‘membunuh orang kafir’”. Dia menjawab “Ah, tidak tiap hari juga”. Saya tergelak, saya bilang kalau saya tak punya pengalaman soal itu. Di perjalanan pulang dia mengimbuhi bagaimana hidupnya lebih bermakna setelah menikah, sambil menyinggung dulu kami sering bersama-sama menonton film begituan. Katanya “kalau dipikir, mononton film begituan tak ada manfaatnya. Setelah menonton pasti akan kecapaian”. Saya terbahak-bahak sementara pikiran saya melayang pada 14 Gigabyte di Drive computer saya. Teman saya sudah jauh lebih dewasa, masa-masa berebut Batman dan Superman sudah lewat. Saya harus lebih maju dari saat ini. Kami baku salam, dan berpisah jalan menuju tempat istirahat masing-masing.

-          Nanga Nuak, pergantian malam antara 4 dan 5 Desember 2012.
Saya dan Nawak sawal saya (Dian)saat survey untuk Plot penelitian saya
*Nawak sawal adalah istilah Jember yang diadaptasi dari bahasa pergaulan warga kota Malang. Bila ingin tahu artinya, baliklah susunan huruf pada masing-masing kata!.

Tidak ada komentar: