Saya pernah punya kawan sekamar
lebih dari 3 tahun berbagi ruang tidur. Tiga tahun tentu menjadi cerita
berawalan meski entah kapan berakhir. Bagaimana pun saya menganggap pertemuan
selalu kebetulan. Kebetulan yang letterlijk
milik Yang Maha Betul. Sebulan setelah saya masuk SMA, saya dititipkan untuk
diajari mengaji sebuah ma’had (sejujurnya saya malu mengaku anak ma’had, karena
kelakuan saya saat ini). Semua teman sekelas saya tahu kalau saya dipondokkan
oleh orang tua saya. Salah satunya
Anjar-kali ini nama asli. Dia bilang ada teman sekampungnya yang mondok
di tempat yang sama dengan saya. Ditanyalah saya, kenalkah saya dengan si Dian
lalu cepat-cepat dia menambahkan “mungkin dipanggil Syamsi”. Saya jawab,
mungkin saya pernah dengar. Maklum saja saya masih baru.
Mungkin Anjar juga mengajukan
pertanyaan yang sama pada Dian, mungkin juga tempat saya bersekolah adalah
identitas saya. Saya masih ingat bagaimana saya dan Dian bertemu, sebuah
pertemuan yang aneh saperti penciri kita berdua. Saya selalu tertawa kalau
mengingat dia dan pertemuan kami.
Di tempat saya tinggal selama SMA
itu, dulu kamar mandi yang ada adalah kamar mandi berpancuran tanpa sekat walau
sengaja digelapkan. Saat saya sibuk mandi di antara banyak “batangan” yang
sedang mandi, saya disapa oleh siluet gelap di sebelah saya.
“Kamu SMA 2, ya?” dan saya pun
menoleh .
“Kenal Anjar?” lanjut siluet
setinggi saya itu.
Saya cepat tanggap “Kamu Syamsi
ya?” dan dia mengiyakan.
Saya lupa apakah saya berbasa-basi
atau tidak dengannya, selupa bagaimana kami kemudian bergaul dekat dan
memanggil dia Dian, nama panggilan yang lebih familiar di ma’had dan lingkaran
keluarganya.
Selang setahun, saya berpindah
kamar dengannya karena alasan teman sekamarnya semua seangkatan saya dan saya
yakin lebih nyaman sekamar dengan sebaya. Beberapa kali saya diajak ke rumah
Dian, menginap juga. Sebuah keluarga yang harmonis, teratur, sederhana dalam
arti kata wajar, dan hangat. Saling bertandang ke rumah sudah adat pertemanan. Ribut
berhantam kadang juga tertawa bersama tentu bumbu pertemanan. Saling berbagi
nasi kiriman orang tua dengan teman sema’had, semua kegiatan komunal kami
lakukan. Sampai watak masing-masing orang sedikit banyak kami paham.
Saya dikenal sebagai penidur, di
manapun saya hidup. Suatu saat di tengah malam, setelah Dian selesai mencuci
baju dia menemukan saya mengigau. Dian kaget, menyahut igauan saya dan kemudian
sadar kalau saya hanya mengigau. Tabiat saya, bila igauan saya disahuti maka
saya akan terbangun. Seketika bangun, saya ingat kalau jemuran saya belum
diangkat lalu berjalanlah saya ke jemuran di lantai tiga bangunan lain. Dian
masih menganggap saya mengigau. Dia memanggil-manggil nama saya, saya malas
menghiraukan karena berkonsentrasi pada kesadaran saya. Sampai saya di bawah
jemuran, Dian masih memanggil nama saya dan menjelaskan ke tetangga kamar yang
bangun dan turut memandangi saya. Saya akhirnya merasa tak baik membuat orang
khawatir dan saya berteriak “Hei tenang saja, aku sudah bangun”. Kemudian
orang-orang bubar.
Kenangan lainnya adalah saat saya
bercanda dengan Dian. Saya lupa sebabnya, tapi sepertinya dia hendak memukul
saya. Saya berlari dan terjatuh. Malang karena punggung saya menabrak pecahan
kaca runcing. Saya ternganga, ‘matilah’ pikir saya. Saya cabut pecahan kaca
itu, untungnya tidak menancap dalam. Sampai saat ini bila saya meraba punggung,
saya masih bisa merasakan tonjolan bekas luka itu.
Sering saya hendak berhantam
dengannya dan lebih sering kami saling merajuk dan mendiamkan. Hormon remaja memang
selalu mengegelegak. Ada saja sebab pertengkaran kami. Saya merasa kami seperti
anak kecil yang selalu berdebat soal Superman
dan Batman. Saya sempat merasa tidak
ada kecocokan di antara kami. Sayangnya, perasaan itu sempat menyusup ke alam bawah
sadar sehingga menciptakan persaingan akan segala hal di antara kami.
Tibalah menjelang kelulusan SMA.
Saya dan Dian mencoba peruntungan di tes masuk UGM. Kami berbeda rombongan,
mengikuti SMA kami masing-masing. Pilihan kami pun berbeda saat itu. Saya
mantab masuk kehutanan. Dari tiga pilihan, dua pilihan saya ambil jurusan di
fakultas kehutanan. Hasilnya saya diterima pilihan pertama. Dian kurang
beruntung di percobaan pertama, mungkin bukan jalan hidupnya. Saya merasa
jumawa saat itu dan Dian merasa terpacu dengan nasib saya. Dian mencoba
peruntungan lagi dengan mengikuti seleksi nasional. Kali ini dia diterima di
jurusan yang sama persis dengan saya.
Sejak tes masuk, saya sudah
mengenal asrama mahasiswa daerah. Saya lebih dulu tinggal di sana, karena
pendaftaran ulang bagi mahasiswa yang lolos tes masuk lebih duluan dari pada
yang lolos seleksi nasional. Dian menyusul tinggal di asrama. Kami pun berbagi
ruang tidur lagi. Saya juga pada awal-awalnya menumpang lemari pakaian dian.
Sampai keluar dari asrama, saya masih tidak memiliki lemari sendiri. Hampir
setiap hari saya menumpang motor Dian. Satu semester kemudian, saya berpisah
kamar dengan Dian tapi masih sering keluar bersama
Masalah beradu mulut, masih
sering kami lakukan bahkan untuk urusan yang sepele. Sebaliknya, sering kami
harus berganti baju berkali-kali karena begitu keluar dari kamar masing-masing
ternyata baju yang kami pakai senada. Kalau bukan moti bajunya yang sama, maka
warnanya sama, kalau bukan bajunya berwarna sama maka celananya berwarna sama.
Bahkan sering ternyata baju saya sewarna
dengan celan dian dan baju dian sewarna dengan celana saya. Malam ini saat dian
menyambangi saya di mess tamu, Dian ternyata memakia baju yang sama persis
dengan saya. Ini lah yang menjadi bahan olok-olokan teman-teman seangkatan saya
di asrama. Ada yang mengejek bahwa dian sebenarnya soul mate saya, saya hanya mencibir.
Kehidupan komunal yang kental di
asrama selalu riuh rendah. Ejekan sana-sini sudah menjadi gurauan sehari-hari
yang tidak boleh diambil hati. Saya pun sering keterlaluan. Kebiasaan di asrama
adalah saling memanasi soal perempuan. Dian yang cepat panas, mudah saja
termakan. Ada seorang teman wanita sefakultas saya yang ditaksirnya. Gayung tak
bersambut, tapi Dian tak merasa. Di samping itu dia juga menebar kail ke banyak
wanita dan memboncengkan banyak teman wanita. Saya anggap sekedar untuk membungkam
omongan orang. Bumerang dilemparkan, sejak itu Dian dianggap gila perempuan.
Saya sebal dengan kebebalannya. Buat apa panas karena omongan orang, pikir
saya. Maka saya dan dua teman sebaya kami di asrama membawa setiap wanita yang
dia dekati untuk membuat dia semakin panas. Puncaknya, saya membawa teman
sefakultas saya itu. Merah muka si Dian, dia cepat-cepat pergi keluar entah
kemana.
Suasana asrama membuat Dian,
memilih sibuk dengan urusan di kampus. Dia pun kemudian bergabung dengan
perkumpulan di masjid. Karena alasan pribadi, semester ketiga dia memilih
keluar dari asrama. Dia mengajak saya sebagai solidaritas, Dian tahu saya juga
sedang tak kerasan. Namun saya menolak karena menganggap itu lah hubungan
komunal toh keluar asrama berarti biaya tambahan untuk kos yang artinya
menaambah beban orang tua, maka saya harus bertahan. Dian mulai berlabel anak
masjid. Saya berprasangka karena asmaranya tak disambut teman sefakultas saya
itu, Dian hidup seperti membiara. Tapi saya juga mantab menyatakan, jalan
hidayahNya selalu punya cara sendiri.
Sejak keluar dari asrama, saya
tidak sering bersinggungan dengan Dian. Dian aktif di banyak organisasi kampus,
saya sibuk berwacana dengan banyak orang di samping lebih memilih organisasi di
luar wilayah struktural kampus. Hasilnya, Dian lebih focus kuliah dan cepat
lulus. Saya menyusul di tahun ke tujuh, dua setengah tahun lebih lama dari
Dian. Setelah lulus, dia langsung bekerja di sebuah perusahaan hutan alam di
jantung Kalimantan.
Setahun kemudian dia menikah.
Saya diundang untuk hadir tapi saya benar-benar tidak bisa datang karena ada
pekerjaan sampingan, saat itu saya juga masih berstatus mahasiswa aktif. Saat
acara resepsi pernikahan diadakan di rumahnya pun, Bapak Ibu saya tidak bisa
datang. Setelah saya lulus dan kemudian bergabung dengan lembaga penelitian di
Kampus, tugas pertama saya adalah membantu peneliti Jepang di tempat Dian
bekerja. Saya diterima Dian di Mess keluarganya, saat itu istrinya sedang
pulang ke Jawa menunggu hari-hari melahirkan. Anaknya lahir selang 3 minggu
saya di sana.
Kini saya berkunjung lagi ke
perusahaan Dian. Kali ini sendiri dan banyak berhubungan dengan divisi kerja
Dian. Dari sejak di Jawa saya sudah mengontaknya. Sesampai di sana saya
menjumpai Dian menggendong anaknya yang berumur setahun lebih. Dian menunjuk
saya pada anaknya dan menyebut saya Oom.
Kacau hati melihat anak teman dekat diajari memanggil Oom kepada saya. Teringat
umur dan tuntutan cucu orang tua saya. Seminggu di sini saya banyak dibantu
Dian menunaikan penelitian saya. Ternyata sempat sekali kita tak sengaja
memakai baju yang sama. Baju kaos yang bergambar identitas jurusan kami. Kami
diolok sebagai anak yayasan. Saya dan Dian tertawa menanggapi olokan itu.
![]() |
Dian dan anaknya yang diajari memanggil saya oom |
Malam ini saya mengerjakan peta
penelitian saya dengannya. Selesai pekerjaan, kami ngobrol dengan bahasa
daerah. Saya mulai dengan pertanyaan “bagaimana rasanya menikah?”. Dian
menjelaskan panjang lebar soal bagaimana kini hidupnya teratur, uang gajinya
lebih terkelola, dan lebih mempunyai tujuan hidup semenjak punya momongan. Saya
pancing dia soal kisah pertemuan dengan istrinya. Dian bilang dari ta’aruf. Dian
bercerita soal dasar dari perkawinan adalah cinta. Bagi saya yang berfaham ‘alah
bisa karena biasa’ sulit menangkap bagaimana orang yang mendapatkan jodoh lewat
ta’aruf, lebih mementingkan kewajiban menikah daripada dengan siapa menikah,
dan tidak berpacaran bisa mencinta sejak awal niatan.
Saya tanya dengan nada sengit “memang
bisa, jatuh cinta karena ta’aruf. Bukannya butuh proses?”
Dian menjawab sederhana “Serahkan
semua pada Yang Maha punya Cinta”. Saya mengamini.
“Cong!” Katanya “bukan persiapan
seperti pacaran yang dibutuhkan, akan tetapi kesiapan mental”.
Dia menambahkan soal bagaimana
menjelang menikah dia tidak memiliki uang tunai yang cukup. Bagaimana jalan
selalu terbuka bagi hamba yang hendak menunaikan kewajiban. Bagaimana semua
seperti sudah diatur oleh sang Pencipta. Bagaimana dia berdao siang malam,
menabung untuk persaipan, disamping juga menyisihkan rejeki sekedar membuat
seang orang tua. Inti percakapan yang saya tangkap adalah ‘buktikan pada Sang
Maha Kaya, kalau kamu sudah mampu menikah!”.
Obrolan kami menambah pemahaman
baru bagi saya. Saya sudahi percakapan kami dengan menyindir “sudah malam,
cong. Kamu kan harus ‘membunuh orang kafir’”. Dia menjawab “Ah, tidak tiap hari
juga”. Saya tergelak, saya bilang kalau saya tak punya pengalaman soal itu. Di
perjalanan pulang dia mengimbuhi bagaimana hidupnya lebih bermakna setelah menikah,
sambil menyinggung dulu kami sering bersama-sama menonton film begituan.
Katanya “kalau dipikir, mononton film begituan tak ada manfaatnya. Setelah
menonton pasti akan kecapaian”. Saya terbahak-bahak sementara pikiran saya
melayang pada 14 Gigabyte di Drive
computer saya. Teman saya sudah jauh lebih dewasa, masa-masa berebut Batman dan Superman sudah lewat. Saya harus lebih maju dari saat ini. Kami
baku salam, dan berpisah jalan menuju tempat istirahat masing-masing.
-
Nanga Nuak, pergantian malam antara 4 dan 5
Desember 2012.
Saya dan Nawak sawal saya (Dian)saat survey untuk Plot penelitian saya |
*Nawak sawal adalah istilah Jember yang diadaptasi dari bahasa
pergaulan warga kota Malang. Bila ingin tahu artinya, baliklah susunan huruf
pada masing-masing kata!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar