Laman

07 Mei 2014

PNS dan Segala Jalan Hidup Seorang Real Sukmana



Saya ingin memulai tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang biasa muncul dalam berbagai jajak pendapat. Sudah berapa sering sampean masuk blog saya?. Ini pertanyaan penting, karena dari blog saya paling tidak sampean bisa menerka-nerka tipe orang seperti apakah saya. Pertanyaan penting lainnya adalah sejak kapan sampean mengenal saya secara pribadi? Lantas bagaimana kesan sampean tentang saya?. Kalau sampean berpendapat saya orang yang slengean; keras; banyak mulut; terlalu banyak berpikir;  konyol; dan lain sejenisnya, maka sampeyan termasuk mayoritas orang yang sering bertemu saya. Orang yang sering bertemu saya pasti berpikir kalau saya orang yang tidak akan memilih menekuni profesi sebagi pegawai negeri sipil (PNS).

Kenapa saya yakin orang-orang berpikir saya tidak akan masuk PNS?. Buktinya terlalu banyak. Seorang teman bertanya “hah, yang benar Real masuk PNS?”. Teman dekat saya  menambahkan “yakin mau jadi PNS” . Seorang lagi menggoda “pugh kown, PNS kown, Kapok kown”. Kalau sampai mereka bertanya seperti itu, tentu mereka punya dasar. Tanpa dasar dan alasan, tidak mungkin teman-teman saya akan meledek saya seolah menjadi PNS adalah bencana. Alasan mereka tentu saja gaya saya yang slengean, keras kepala, tidak disiplin, dan tentu saja anti kemapanan. Belum lagi komentar nyinyir getir saya soal birokrasi, orang-orang yang bekerja dengan waktu rutin 9-17, segala keburukan PNS, mayoritas orang yang berbondong-bondong ikut tes CPNS, dan soal bagaimana saya menentang dengan gigih keinginan orang tua saya agar anaknya menjadi PNS. Tentu saja saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Tengoklah daftar cita-cita saya, tak ada satu pun yang mendekati profesi PNS.  Jika saya diajak berbicara mengenai profesi sebagai pegawai negeri sipil jawabannya selalu sama “TIDAK”.

Penolakan saya terhadap profesi PNS sampai-sampai membuat alam bawah sadar saya mencibir setiap kawan saya yang akhirnya berprofesi sebagi PNS. Entah sadar atau tidak, Oom Pam yang menjadi karib saya sampai melakukan metode khusus saat dia diterima menjadi PNS 4 tahun lalu. Oom pam mengajak saya makan durian berdua khusus untuk menyampaikan kabar gembira itu. Kalau saya jujur dengan perasaan saya waktu itu, saya merasa dikhianati. Benar-benar parah bukan, penolakan saya?!.

Banyak hal yang membuat saya menghindari berprofesi sebagai PNS. Yang paling saya camkan adalah, PNS korup. Saat lulus SMA ketika saya disuruh orang tua saya mendaftar ke sekolah kedinasan keuangan, saya bilang ke bapak saya “Terlalu basah, saya takut ikut korupsi”. Belum lagi akhir-akhir ini media massa sering memberitakan bagaimana pejabat tertangkap kasus korupsi yang merugikan Negara sampai bermilyar-milyar rupiah. Soal PNS korupsi, jawaban bapak saya baik dulu baik sekarang sama saja “biar jadi petani, kalau mau korupsi ya tetap bisa korupsi”. Saya diam, tapi bapak saya tak bisa berkomentar saat saya mengurus e-KTP di Kecamatan. E-KTP saya sampai sekarang tak kunjung jadi. Dua kali saya dipotret, dua kali pula kesalahannya sama yaitu foto saya tertukar dengan adik perempuan saya. Saya juga memaki-maki di depan bapak saya setiap PNS yang gayanya sok dan suka mengulur-ngulur waktu pengurusan administrasi. Saya lihat banyak PNS yang makan gaji buta. Tidak ada pekerjaan yang dikerjakan di jam kerja.

Walaupun saya sudah menjelek-jelekkan PNS, bapak saya tetap berpendirian saya harus jadi PNS. Bapak saya pernah marah-marah hanya karena salah paham dengan adik saya soal pendaftaran PNS. Karena adik saya menunggu tunangannya untuk mendaftar bersama, bapak saya berfikir adik saya tidak mau masuk PNS. Mengadu lah bapak saya ke saya, saya bilang “ya kan pekerjaan engga Cuma PNS”. Celakanya bapak saya merajuk sengit “buat apa Bapak sekolahin tinggi-tinggi kalau disuruh jadi PNS saja tak mau”. Mampus saya, saya kan juga menolak disuruh jadi PNS. Bapak saya ingin anak-anaknya menjadi PNS karena alasan kejelasan status. Bagi bapak saya, menjadi PNS berarti hidup tenteram dengan gaji tiap bulan, ASKES dan uang pensiun. Saya bilang, saya bisa hidup tenteram tanpa gaji tetap. Soal kesehatan saya bisa ikut asuransi, soal uang pensiun saya akan berinvestasi dan juga ikut asuransi. Bapak saya berkilah lagi “kamu bisa ikut segala asuransi itu kalau kamu jadi PNS”. Intinya saya harus menuruti keinginan bapak saya, kalau tidak menuruti, saya bisa durhaka.

Untungnya saat saya lulus, moratorium PNS sedang dimulai. Pemerintah tidak membuka lowongan PNS untuk tiga tahun ke depan. Artinya saya bisa sejenak bernafas lega. Tapi tiga tahun moratorium adalah tiga tahun penuh perdebatan. Saya tidak boleh bekerja di luar jawa, saya disuruh lanjut S2. Saya juga sedang malas lanjut S2. Maka saya mengiyakan untuk mengelabuhi dan bilang saya mau ikut proyek-proyek jangka pendek di kampus sehingga bisa tetap kuliah S2. Akhirnya masa itu pun tiba. Masa dimana saya tidak bisa menolak untuk mendaftar tes CPNS. 

Saya tak hilang akal, kalau saya harus mendaftar tes CPNS harus yang kira-kira sudah pasti tidak lolos, kalau toh lolos harus profesi yang saya suka, yaitu peneliti. Profesi yang lumayan jauh dari kegiatan administrasi. Mendaftarlah saya di LIPI. Saya tahu, kalau saya mendaftar di LIPI maka saya tidak akan lolos syarat administrasi. Saya tersingkir, IPK saya tidak memenuhi syarat mendaftar. Saya laporkan ke bapak saya. Dijawabnya “engga apa-apa nak, profesi engga cuma PNS”. Alhamdulillah, bapak saya akhirnya tersadar. Lanjutan obrolan soal pendaftaran tes CPNS adalah “kalo yang Kemenhut gimana?”. Kacau, kenapa hilang kesadaran lagi ini orang tua?!!. “belum pengumuman, Pak” jawab saya. Saya hanya mendaftar dua instansi. LIPI dan Kementerian Kehutanan. Bapak saya akan marah kalau saya tidak mendaftar di Kementerian Kehutanan, terang saja karena saya sarjana kehutanan.

Di sela pendaftaran dan pengumuman saya melamar teman seangkatan saya. Dia tidak bisa langsung memutuskan saat itu juga. Saya beri waktu sampai akhir tahun, yaitu tanggal 31 desember 2013. Di tengah masa penantian, dia cerita kalau sebetulnya dia ingin punya suami PNS. Celaka Sembilan belas, kenapa calon istri saya ingin saya juga jadi PNS. Saya ceritakan keinginan calon istri saya itu ke orang tua saya, tak ayal oaring tua saya langsung merestui kinginan saya untuk melamarnya. Calon istri saya itu juga mencoba menyemangati saya untuk tes CPNS dan memastikan kalau dia memilih saya jadi suami bukan karena saya diterima PNS atau tidak. Dia ingin saya focus tes CPNS dn meraih hasil maksimal. “kalau aku mantab, kamu akan tetap aku terima jadi suami walau pun tidak lolos tes CPNS tahun ini” kata calon istri saya. “tapi, kalau tidak lolos tahun ini, kamu harus coba lagi tahun depan” imbuhnya. Ah, ini seperti hukum matematika saja.

Setelah dua kali tes, pengumuman hasil menunjukkan bahwa saya diterima untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kehutanan. Jabatan saya bukan peneliti, saya penelaah data. Sebetulnya saya bisa memilih jadi peneliti, tapi kantor yang menerima semua di luar jawa. Akan susah kalau saya diterima di kantor luar jawa. Bapak saya ingin saya bisa pulang, kalau bapak saya ingin saya pulang. Lagi-lagi soal bapak saya. Bapak saya girang bukan kepalang, ibu saya bersyukur, calon istri saya grogi karena waktu pengurusan syarat-syarat sangat mendesak. Bapak dan ibu saya bilang “Kalo bukan merupakan karena calon istrinya, Real engga akan mau jadi PNS”. Duh, sudah saya korbankan keinginan saya untuk tidak jadi PNS demi keinginan orang tua, masih saja saya dianggap bukan anak penurut.

Akhirnya lamaran saya diterima, dan saya menikah. Bapak ibu saya senang bukan kepalang, walaupun tetap punya pikiran kalau saya menjadi PNS karena keinginan istri. Faktanya adalah  saya melamar istri saya setelah saya mendaftar tes CPNS, jauh hari sebelum saya tahu istri saya ingin punya suami PNS. Alamak susahnya menyenangkan hati orang tua. Apa pun hasilnya, saya harus tetap bersyukur. Karena saya takut Tuhan marah karena saya kufur nikmat. Dan di sinilah saya, mengisi blog saat jam kerja. Mumpung belum masa sibuk, karena saat kesibukan datang seperti dua hari lalu, menjawab SMS pun saya tak sempat.

Jakarta, 8 Mei 2014.

2 komentar:

Kim mengatakan...

Akhirnya..., karena keseloan PNS, engkau memosting tulisan. Ahlan bik!

Real sukmana Fu mengatakan...

Iya
Selo welo welo
Hehe