Saya ingin memulai tulisan ini
dengan beberapa pertanyaan yang biasa muncul dalam berbagai jajak pendapat.
Sudah berapa sering sampean masuk blog saya?. Ini pertanyaan penting, karena
dari blog saya paling tidak sampean bisa menerka-nerka tipe orang seperti
apakah saya. Pertanyaan penting lainnya adalah sejak kapan sampean mengenal
saya secara pribadi? Lantas bagaimana kesan sampean tentang saya?. Kalau sampean
berpendapat saya orang yang slengean; keras; banyak mulut; terlalu banyak
berpikir; konyol; dan lain sejenisnya, maka
sampeyan termasuk mayoritas orang yang sering bertemu saya. Orang yang sering
bertemu saya pasti berpikir kalau saya orang yang tidak akan memilih menekuni
profesi sebagi pegawai negeri sipil (PNS).
Kenapa saya yakin orang-orang
berpikir saya tidak akan masuk PNS?. Buktinya terlalu banyak. Seorang teman
bertanya “hah, yang benar Real masuk PNS?”. Teman dekat saya menambahkan “yakin mau jadi PNS” . Seorang lagi
menggoda “pugh kown, PNS kown, Kapok kown”. Kalau sampai mereka bertanya
seperti itu, tentu mereka punya dasar. Tanpa dasar dan alasan, tidak mungkin
teman-teman saya akan meledek saya seolah menjadi PNS adalah bencana. Alasan mereka
tentu saja gaya saya yang slengean, keras kepala, tidak disiplin, dan tentu
saja anti kemapanan. Belum lagi komentar nyinyir getir saya soal birokrasi,
orang-orang yang bekerja dengan waktu rutin 9-17, segala keburukan PNS,
mayoritas orang yang berbondong-bondong ikut tes CPNS, dan soal bagaimana saya
menentang dengan gigih keinginan orang tua saya agar anaknya menjadi PNS. Tentu
saja saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Tengoklah daftar cita-cita saya, tak ada satu pun yang mendekati profesi PNS. Jika saya diajak berbicara mengenai profesi
sebagai pegawai negeri sipil jawabannya selalu sama “TIDAK”.
Penolakan saya terhadap profesi
PNS sampai-sampai membuat alam bawah sadar saya mencibir setiap kawan saya yang
akhirnya berprofesi sebagi PNS. Entah sadar atau tidak, Oom Pam yang menjadi
karib saya sampai melakukan metode khusus saat dia diterima menjadi PNS 4 tahun
lalu. Oom pam mengajak saya makan durian berdua khusus untuk menyampaikan kabar
gembira itu. Kalau saya jujur dengan perasaan saya waktu itu, saya merasa
dikhianati. Benar-benar parah bukan, penolakan saya?!.
Banyak hal yang membuat saya
menghindari berprofesi sebagai PNS. Yang paling saya camkan adalah, PNS korup. Saat
lulus SMA ketika saya disuruh orang tua saya mendaftar ke sekolah kedinasan
keuangan, saya bilang ke bapak saya “Terlalu basah, saya takut ikut korupsi”. Belum
lagi akhir-akhir ini media massa sering memberitakan bagaimana pejabat tertangkap
kasus korupsi yang merugikan Negara sampai bermilyar-milyar rupiah. Soal PNS
korupsi, jawaban bapak saya baik dulu baik sekarang sama saja “biar jadi
petani, kalau mau korupsi ya tetap bisa korupsi”. Saya diam, tapi bapak saya
tak bisa berkomentar saat saya mengurus e-KTP di Kecamatan. E-KTP saya sampai
sekarang tak kunjung jadi. Dua kali saya dipotret, dua kali pula kesalahannya
sama yaitu foto saya tertukar dengan adik perempuan saya. Saya juga memaki-maki
di depan bapak saya setiap PNS yang gayanya sok dan suka mengulur-ngulur waktu
pengurusan administrasi. Saya lihat banyak PNS yang makan gaji buta. Tidak ada
pekerjaan yang dikerjakan di jam kerja.
Walaupun saya sudah menjelek-jelekkan
PNS, bapak saya tetap berpendirian saya harus jadi PNS. Bapak saya pernah
marah-marah hanya karena salah paham dengan adik saya soal pendaftaran PNS. Karena
adik saya menunggu tunangannya untuk mendaftar bersama, bapak saya berfikir adik
saya tidak mau masuk PNS. Mengadu lah bapak saya ke saya, saya bilang “ya kan
pekerjaan engga Cuma PNS”. Celakanya bapak saya merajuk sengit “buat apa Bapak
sekolahin tinggi-tinggi kalau disuruh jadi PNS saja tak mau”. Mampus saya, saya
kan juga menolak disuruh jadi PNS. Bapak saya ingin anak-anaknya menjadi PNS
karena alasan kejelasan status. Bagi bapak saya, menjadi PNS berarti hidup
tenteram dengan gaji tiap bulan, ASKES dan uang pensiun. Saya bilang, saya bisa
hidup tenteram tanpa gaji tetap. Soal kesehatan saya bisa ikut asuransi, soal
uang pensiun saya akan berinvestasi dan juga ikut asuransi. Bapak saya berkilah
lagi “kamu bisa ikut segala asuransi itu kalau kamu jadi PNS”. Intinya saya
harus menuruti keinginan bapak saya, kalau tidak menuruti, saya bisa durhaka.
Untungnya saat saya lulus,
moratorium PNS sedang dimulai. Pemerintah tidak membuka lowongan PNS untuk tiga
tahun ke depan. Artinya saya bisa sejenak bernafas lega. Tapi tiga tahun
moratorium adalah tiga tahun penuh perdebatan. Saya tidak boleh bekerja di luar
jawa, saya disuruh lanjut S2. Saya juga sedang malas lanjut S2. Maka saya
mengiyakan untuk mengelabuhi dan bilang saya mau ikut proyek-proyek jangka pendek di kampus sehingga bisa tetap kuliah S2. Akhirnya
masa itu pun tiba. Masa dimana saya tidak bisa menolak untuk mendaftar tes
CPNS.
Saya tak hilang akal, kalau saya
harus mendaftar tes CPNS harus yang kira-kira sudah pasti tidak lolos, kalau
toh lolos harus profesi yang saya suka, yaitu peneliti. Profesi yang lumayan
jauh dari kegiatan administrasi. Mendaftarlah saya di LIPI. Saya tahu, kalau
saya mendaftar di LIPI maka saya tidak akan lolos syarat administrasi. Saya
tersingkir, IPK saya tidak memenuhi syarat mendaftar. Saya laporkan ke bapak
saya. Dijawabnya “engga apa-apa nak, profesi engga cuma PNS”. Alhamdulillah,
bapak saya akhirnya tersadar. Lanjutan obrolan soal pendaftaran tes CPNS adalah “kalo
yang Kemenhut gimana?”. Kacau, kenapa hilang kesadaran lagi ini orang
tua?!!. “belum pengumuman, Pak” jawab saya. Saya hanya mendaftar dua instansi.
LIPI dan Kementerian Kehutanan. Bapak saya akan marah kalau saya tidak
mendaftar di Kementerian Kehutanan, terang saja karena saya sarjana kehutanan.
Di sela pendaftaran dan
pengumuman saya melamar teman seangkatan saya. Dia tidak bisa langsung
memutuskan saat itu juga. Saya beri waktu sampai akhir tahun, yaitu tanggal 31
desember 2013. Di tengah masa penantian, dia cerita kalau sebetulnya dia ingin
punya suami PNS. Celaka Sembilan belas, kenapa calon istri saya ingin saya juga
jadi PNS. Saya ceritakan keinginan calon istri saya itu ke orang tua saya, tak
ayal oaring tua saya langsung merestui kinginan saya untuk melamarnya. Calon istri
saya itu juga mencoba menyemangati saya untuk tes CPNS dan memastikan kalau dia
memilih saya jadi suami bukan karena saya diterima PNS atau tidak. Dia ingin
saya focus tes CPNS dn meraih hasil maksimal. “kalau aku mantab, kamu akan
tetap aku terima jadi suami walau pun tidak lolos tes CPNS tahun ini” kata
calon istri saya. “tapi, kalau tidak lolos tahun ini, kamu harus coba lagi
tahun depan” imbuhnya. Ah, ini seperti hukum matematika saja.
Setelah dua kali tes, pengumuman
hasil menunjukkan bahwa saya diterima untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kehutanan. Jabatan saya bukan peneliti, saya penelaah data. Sebetulnya
saya bisa memilih jadi peneliti, tapi kantor yang menerima semua di luar jawa. Akan
susah kalau saya diterima di kantor luar jawa. Bapak saya ingin saya bisa
pulang, kalau bapak saya ingin saya pulang. Lagi-lagi soal bapak saya. Bapak saya
girang bukan kepalang, ibu saya bersyukur, calon istri saya grogi karena waktu
pengurusan syarat-syarat sangat mendesak. Bapak dan ibu saya bilang “Kalo bukan
merupakan karena calon istrinya, Real engga akan mau jadi PNS”. Duh, sudah saya
korbankan keinginan saya untuk tidak jadi PNS demi keinginan orang tua, masih
saja saya dianggap bukan anak penurut.
Akhirnya lamaran saya diterima,
dan saya menikah. Bapak ibu saya senang bukan kepalang, walaupun tetap punya
pikiran kalau saya menjadi PNS karena keinginan istri. Faktanya adalah saya melamar istri saya setelah saya mendaftar tes CPNS, jauh hari sebelum saya tahu istri saya ingin punya suami PNS. Alamak susahnya menyenangkan
hati orang tua. Apa pun hasilnya, saya harus tetap bersyukur. Karena saya takut Tuhan marah karena saya kufur nikmat. Dan di sinilah saya, mengisi blog saat jam kerja. Mumpung belum
masa sibuk, karena saat kesibukan datang seperti dua hari lalu, menjawab SMS
pun saya tak sempat.
Jakarta, 8 Mei 2014.
Jakarta, 8 Mei 2014.
2 komentar:
Akhirnya..., karena keseloan PNS, engkau memosting tulisan. Ahlan bik!
Iya
Selo welo welo
Hehe
Posting Komentar